Dzikir
Dzikir (mengingat Allah dengan hati dan menyebut-Nya dengan
lisan) merupakan tempat persinggahan orang-orang yang agung, yang di
sanalah mereka membekali diri, berniaga dan ke sanalah mereka pulang
kembali.
Dzikir merupakan santapan hati, yang jika tidak mendapatkannya,
maka badan menjadi seperti kuburan dan mati. Dzikir merupakan senja-ta
yang digunakan untuk menghadapi para perampok jalanan, merupakan air
yang bisa menghilangkan rasa dahaga di tengah perjalanan, merupakan obat
yang menyembuhkan penyakit. Jika mereka tidak mendapatkannya, maka
hati mereka akan mengkerut, karena dzikir merupakan
perantara dan penghubung antara diri mereka dengan alam gaib. Dengan
dzikir mereka menolak bencana dan menyingkirkan kesusahan, se-hingga
musibah yang menimpa mereka terasa remeh. Jika ada bencana yang
datang, maka mereka berlindung kepada dzikir. Yang pasti dzikir
merupakan taman surga yang mereka diami dan modal kebahagiaan yang
mereka pergunakan untuk berniaga. Dzikir mengajak hati yang dirundung
kepiluan untuk tersenyum gembira dan menghantarkan pelaku-nya
kepada Dzat yang didzikiri, dan bahkan membuat pelakunya menja-di
orang yang seakan tidak layak untuk diingat.
Dalam setiap anggota tubuh ada ubudiyah yang dilakukan secara
temporal. Sedangkan dzikir merupakan ubudiyah hati dan lisan yang tidak
mengenal batasan waktu. Mereka diperintahkan untuk mengingat sesembahan
dan kekasihnya dalam keadaan seperti apa pun, saat berdiri, duduk,
telentang. Seakan-akan surga itu merupakan kebun dan dzikir adalah
tanamannya. Begitu pula hati yang bisa diibaratkan bangunan yang kosong,
maka dzikirlah yang membuat bangunan itu semarak.
Dzikir adalah pembersih dan pengasah hati serta obatnya jika hati itu
sakit. Selagi orang yang berdzikir semakin tenggelam dalam dzikir-nya,
maka cinta dan kerinduannya semakin terpupuk terhadap Dzat yang diingat.
Jika ada keselarasan antara hati dan lisan, maka pelakunya akan lalai
terhadap segala sesuatu. Sebagai gantinya, Allah akan menjaganya dari
segala sesuatu. Dengan dzikir, pendengaran menjadi terbuka, lisan tidak
kelu dan kegelapan menyingkir dari pandangan. Dengan dzikir ini Allah
menghiasi lisan orang-orang yang berdzikir, sebagaimana Dia meng-hiasi
pandangan orang-orang yang bisa memandang dengan cahaya. Lisan yang
lalai seperti mata yang buta, telinga yang tuli dan tangan yang bun-tung.
Dzikir merupakan pintu Allah yang paling lebar dan besar, terbuka di antara
Allah dan hamba-Nya, selagi pintu itu tidak ditutup sendiri oleh hamba
dengan kelalaiannya.
Al-Hasan Al-Bashry berkata, "Carilah kemanisan dalam tiga perka-ra:
Dalam shalat, dalam dzikir dan membaca Al-Qur'an. Jika kalian tidak
mendapatkannya, maka ketahuilah bahwa pintunya dalam keadaan tertutup."
Dengan dzikir, hamba bisa mengalahkan syetan, sebagaimana sye-tan
yang dapat mengalahkan orang-orang yang lalai dan lupa diri. Di antara
orang salaf ada yang berkata, "Jika dzikir ada di dalam hati, lalu syetan
mendekatinya, maka dia langsung kalah, sebagaimana manusia yang
dikalahkan syetan jika syetan mendekatinya. Dalam keadaan kalah ini
syetan-syetan berkerumun di sekelilingnya. Di antara mereka berta-nya,
'Ada apa dengan orang ini?' Yang lain menjawab, 'Dia sedang gila'."
Dzikir merupakan ruh amal-amal yang shalih. Jika amal terlepas
dari dzikir, maka amal itu seperti badan yang tidak memiliki ruh.
Di dalam Al-Qur'an disebutkan sepuluh versi dalam hubungannya
dengan dzikir, yaitu:
1. Perintah dzikir secara terbatas dan tidak terbatas.
2. Larangan kebalikannya, yaitu lupa dan lalai.
3. Keberuntungan yang bergantung kepada banyaknya dzikir dan kontinyuitasnya.
4. Pujian terhadap para pelakunya dan pengabaran tentang surga dan
ampunan yang dijanjikan Allah bagi mereka.
5. Pengabaran tentang kerugian yang mengabaikan dzikir dan sibuk dengan
selainnya.
6. Allah mengingat orang-orang yang mengingat-Nya sebagai balasan
bagi mereka.
7. Pengabaran bahwa dzikir lebih besar dari segala sesuatu.
8. Allah menjadikan dzikir sebagai penutup amal-amal yang shalih dan
sekaligus sebagai kuncinya.
9. Pengabaran tentang para pelakunya, bahwa mereka adalah orangorang
yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah dan
merekalah orang-orang yang berakal.
10. Allah menjadikan dzikir sebagai pendamping segala amal yang shalih
dan ruhnya. Jika amal tidak disertai dzikir, maka ia seperti jasad tanpa
ruh.
Perintah dzikir seperti yang disebutkan dalam firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut tiama)
Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan, bertasbihlah
kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat
kepada kalian dan malaikat-Nya (memohon ampunan untuk kalian),
supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang
terang). Dan, adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang
beriman." (Al-Ahzab: 41-43).
"Dan, sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan
diri dan rasa takut" (Al-A'raf: 205).
Di sini ada dua pendapat: Pertama, berdzikir di dalam hatimu dan
sembunyi-sembunyi. Kedua, dengan lisan, sehingga engkau pun
bisa mendengarnya.
Larangan kebalikan dzikir, yaitu lalai, seperti firman Allah,
"Dan, janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (Al-A'raf:
"Dan, janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada
Allah,lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri."
(Al-Hasyr: 19).
Tentang keberuntungan yang bergantung kepada banyaknya dzikir
dan kontinyuitasnya, seperti firman Allah,
"Dan, sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung
(Al-Anfal:45)
Pujian terhadap para pelakunya dan kebaikan pahala mereka, seperti
firman Allah,
"... dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar. "(Al-Ahzab: 35).
Kerugian orang yang mengabaikan dan melalaikan dzikir, seperti
firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anakanak
kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (Al-
Munafiqun: 9).
Allah mengingat orang-orang yang mengingat-Nya sebagai balas-an
bagi mereka, seperti firman-Nya,
"Karena itu ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada
kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari
(nikmat)-Ku." (Al-Baqarah: 152).
Pengabaran bahwa dzikir lebih besar dari segala sesuatu, seperti
firman-Nya,
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-
Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat
Allah itu adalah lebih besar." (Al-Ankabut: 45).
Ada tiga pendapat tentang makna lebih besar di sini, yaitu:
- Mengingat Allah lebih besar dari segala sesuatu dan merupakan ketaatan
yang paling utama. Sebab maksud dari seluruh ketaatan adalah
menegakkan dzikir kepada Allah, sehingga dzikir ini merupakan raha-sia
dan ruh ketaatan.
- Maknanya, jika kalian mengingat Allah, maka Dia mengingat kalian.
Sementara pengingatan Allah terhadap kalian lebih besar daripada
pengingatan kalian kepada-Nya.
- Mengingat Allah itu lebih besar daripada membiarkan kekejian dan
kemungkaran. Bahkan jika dzikir ini lebih sempurna, maka dzikir itu
bisa menghapus segala kesalahan dan kedurhakaan. Begitulah yang
disebutkan para mufasir.
Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Makna ayat ini, bahwa di dalam shalat terkandung dua faidah yang amat
besar, yaitu: Fungsi shalat itu yang bisa mencegah kekejian dan kemungkaran,
kandungan shalat itu terhadap dzikir kepada Allah. Kandungan
dzikir ini lebih besar daripada fungsi pencegahannya terhadap kekejian
dan kemungkaran."
Penutup amal-amal yang shalih ialah dengan dzikir, seperti dzikir
sebagai penutup puasa. Firman-Nya,
.
"Dan, hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hcndaklah
kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepada kalian, supaya kalian bersyukur." (Al-Baqarah: 185).
Dzikir sebagai penutup haji, seperti firman-Nya,
"Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kalian
menyebut-nye-but nenek moyang kalian atau bahkan berdzikirlah
lebih banyak dari itu." (Al-Baqarah: 200).
Dzikir sebagai penutup shalat, seperti firman-Nya,
"Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring." (An-Nisa':
103).
Dzikir sebagai penutup shalat Jum'at, seperti firman-Nya,
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di
muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
sebanyak-banyak-nya supaya kalian beruntung." (Al-Jumu'ah: 10).
Tentang pengkhususan orang-orang yang berdzikir, yang bisa
mengambil manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat Allah, sehingga mereka
disebut pula orang-orang yang berakal, seperti firman-Nya,
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
berganti-nya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orangorang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring." (Ali
Imran: 190-191).
Tentang dzikir yang berfungsi sebagai pendamping segala amal dan
sekaligus merupakan ruhnya, seperti firman Allah yang menyertakan
dzikir dengan shalat,
"Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (Thaha: 14).
Allah menyertakan dzikir dengan puasa, haji dan amal-amal lainnya,
dan bahkan menjadikan dzikir ini sebagai ruh haji dan intinya, sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Sesungguhnya thawaf di sekeliling Ka'bah, sa'i antara Shafa dan
Marwah. dan melempar jumrah itu dijadikan hanya untuk
menegakkan dzikir kepada Allah."
Allah juga menyertakannya dengan jihad, memerintahkan dzikir
saat berhadapan dengan pasukan musuh, seperti firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi
pasukan (musuh), maka berteguhhatilah kalian dan sebutlah nama
Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung." (Al-Anfal:
45).
Orang-orang yang berdzikir adalah orang-orang yang lebih dahulu
berjalan, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim di dalam Shahih-nya,
dari hadits Al-Ala', dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu,
dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati
suatu jalan di Makkah, lalu beliau melewati sebuah bukit yang disebut
Jumdan. Beliau bersabda, "Teruskanlah perjalanan kalian. Ini adalah Jumdan,
dan para mufarridun telah dahulu berjalan."
Para shahabat bertanya, "Siapakah para mufarridun itu wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang berdzikir kepada
Allah sebanyak-banyaknya, laki-laki dan wanita."
Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu', dari hadits Abud-
Darda' Radhiyallahu Anhu,
"Ketahuilah, akan kuberitahukan kepada kalian tentang amal-amal
kalian yang paling baik, paling suci di sisi Raja kalian, paling tinggi
dalam derajat kalian, lebih baik bagi kalian daripada penganugerahan
emas dan perak, lebih baik jika kalian berhadapan dengan musuh, lalu
kalian memenggal leher mereka atau mereka yang memenggal leher
kalian". Mereka bertanya, "Apa itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab,
"Dzikir kepada Allah Azza wa jalla."
Beliau juga bersabda, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih
Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu
Anhuma,
.
"Tidaklah segolongan orang berdzikir kepada Allah melainkan para
malaikat mengelilingi mereka, menyelubungi mereka dengan rahmat,
menurunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah menyebut mereka di
antara orang-orang yang ada di sisi-Nya."
Bukti kemuliaan dzikir ini, Allah membangga-banggakan para pelakunya
di hadapan para malaikat, sebagaimana yang disebutkan di dalam
Shahih Muslim, dari Mu'awiyah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menemui sekerumunan para shahabat, sera-ya
bertanya, "Apa yang membuat kalian berkumpul?"
Mereka menjawab, "Kami berkumpul untuk menyebut nama Allah,
memuji-Nya karena telah menunjuki kami kepada Islam dan
menganugerahkan Islam itu kepada kami."
Beliau bersabda, "Demi Allah, apakah hanya karena itu yang mendorong
kalian untuk berkumpul?"
Mereka menjawab, "Demi Allah, hanya inilah yang mendorong
kami untuk berkumpul."
Beliau bersabda, "Sebenarnya aku tidak meminta kalian untuk
bersumpah karena curiga terhadap kalian. Hanya saja Jibril telah mendatangiku
dan mengabarkan kepadaku, bahwa Allah membangga-banggakan
kalian kepada para malaikat."
Seorang Arab dusun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam, "Apakah amal yang paling utama?"
Maka beliau menjawab,
"Engkau meninggalkan dunia, sedang lisanmu daiam keadaan
basah karena sering menyebut nama Allah."
Ada pula seseorang yang pernah berkata kepada be liau, "Sesungguhnya
syariat-syariat Islam terlalu banyak bagiku. Maka perintahkanlah
kepadaku suatu perkara yang dapat kujadikan gantungan." Maka
beliau bersabda, "Buatlah lisanmu senantiasa basah karena menyebut
nama Allah."
Di dalam Al-Musnad disebutkan dari hadits Jabir, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menemui kami seraya bersabda,
"Wahai manusia, merumputlah kalian di kebun-kebun surga."
Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kebun-kebun surga
itu?"
Beliau menjawab, "Majlis-majlis dzikir."
Beliau juga pernah bersabda,
:
"Pergilah kalian pada waktu pagi dan petang hari serta
berdzikirlah. Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi
Allah, maka hendaklah dia melihat bagaimana kedudukan Allah di
sisinya. Karena Allah menempatkan hamba di sisi-Nya
sebagaimana dia menempatkan-Nya di sisinya."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meriwayatkan dari
Ibrahim Alaihis-Salam pada malam Isra', bahwa Ibrahim Alaihis-Salam
berkata kepada Rasulullah,
"Sampaikanlah salam dariku kepada umatmu dan kabarkanlah kepada
mereka bahwa surga itu bagus tanahnya, segarairnya, bahwa surga itu
merupakan kebun-kebun dan adapun tanamannya adalah kalimat
Subhanallah walhamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar."
(Diriwayatkan At-Tirmidzy, Ahmad dan lain-lainya).
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Musa Radhiyallahu
Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
.
"Perumpamaan orang yang mcnyebut nama Rabbnya dan orang yang
tidak menyebut nama-Nya seperti orang hidup dan orang mati."
Lafazh Muslim disebutkan,
"Perumpamaan rumah yang di dalamnya disebutkan nama Allah dan
rumah yang di dalamnya tidak disebutkan nama Allah seperti orang
hidup dan orang mati."
Beliau menganggap rumah orang yang berdzikir seperti rumah yang
hidup dan semarak, sedangkan rumah orang yang lalai dan tidak berdzikir
sama dengan rumah orang mati atau kuburan. Dalam lafazh pertama, orang
yang berdzikir disamakan dengan orang yang hidup, dan orang yang lalai
tidak mau berdzikir disamakan dengan orang yang mati. Dua lafazh ini
mencakup pengertian bahwa hati yang berdzikir seperti orang hidup yang
berada di rumah orang-orang yang juga hidup, sedangkan orang yang
lalai tidak mau berdzikir seperti orang mati yang berada di dalam
kuburan. Tidak dapat diragukan bahwa tubuh orang-orang yang lalai
merupakan kuburan bagi hati mereka, dan hati mereka yang ada di dalam
badannya seperti orang mati di dalam kuburan, sebagaimana yang
dikatakan dalam syair,
"Lalai menyebut nama Allah merupakan kematian hati jasad
mereka adalah kuburan sebelum masuk ke liang kubur ruh berada
di dalam tubuh mereka dalam keadaan liar saat kembali pun
mereka tidak mempunyai tempat kembali."
Dalam atsar Ilahy disebutkan,
.
"Allah befirman, 'Jika yang menang atas hamba-Ku adalah menyebut
nama-Ku, tentu dia mencintai-Ku dan Aku pun mencintainya."
Dalam atsar Ilahy yang lain disebutkan,
"Wahai anak Adam, kamu tidak adil kepada-Ku. Aku mengingatmu
namun kamu melupakan Aku, Aku menyerumu namun kamu lari
kepada selainAku, Aku menyingkirkan bencana darimu, namun kamu
senantiasa berada pada kesalahan-kesalahan. Wahai anak Adam, apa
yang akan kamu katakan besok jika kamu datang kepada-Ku?"
Dalam atsar Ilahy yang lain disebutkan,
"Wahai anak Adam, ingatlah Aku ketika kamu marah, niscaya Aku
mengingatmu ketika Aku murka. Ridhalah terhadap pertolongan-Ku
kepadamu, karena pertolongan-Ku kepadamu lebih baik daripada pertolonganmu
untuk dirimu sendiri."
Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan atsar Ilahy yang diriwayatkan
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Rabb,
"Siapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di
dalam Diri-Ku, dan siapa yang mengingat-Ku di keramaian orang, maka
Aku mengingatnya di keramaian yang lebih baik daripada mere-ka."
Saya telah menyebutkan sekitar seratus faidah dzikir dalam kitab
Al-Wabilush-Shayyib,10 beserta rahasia-rahasia, keagungan manfaat dan
buahnya yang bagus. Di sana juga saya sebutkan tiga macam dzikir, yaitu:
- Dzikir asma, sifat dan makna-maknanya, pujian terhadap Allah dengan
asma dan sifat-sifat itu serta pengesaan Allah.
- Dzikir perintah dan larangan, halal dan haram.
- Dzikir karunia, nikmat, kemurahan dan kebaikan.
Ada tiga macam dzikir lainnya yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya,
yaitu:
- Dzikir dengan menyelaraskan antara lisan dan hati. Ini merupakan
tingkatan dzikir yang paling tinggi.
- Dzikir dengan hati semata.
- Dzikir dengan lisan semata.
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Dzikir artinya membebaskan ,
diri dari lalai dan Iupa."
Perbedaan antara lalai dan Iupa, bahwa lalai merupakan pilihan
pelakunya. Sedangkan Iupa bukan karena pilihannya. Karena itu Allah
befirman, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai". Tidak
dikatakan, "Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lupa", karena
lalai tidak termasuk dalam pembebanan kewajiban, sehingga tidak
dilarang.
Menurut Syaikh, ada tiga derajat dzikir, yaitu:
1. Dzikir secara zhahir, berupa pujian, doa atau pengawasan.
Yang dimaksudkan zhahir adalah apa yang disampaikan lisan dan sesuai
dengan suara hati. Jadi tidak sekedar dzikir sebatas lisan semata,
karena banyak orang yang tidak beranggapan seperti ini. Sedangkan
pujian seperti ucapan Subhanallah wal-hamdu lillah, la ilaha illallah
wallahu akbar. Sedangkan doa seperti yang banyak disebutkan dalam
Al-Qur'an maupun As-Sunnah, dan hal ini sangat banyak jenisnya.
Sedangkan pengawasan, seperti ucapan, "Allah besertaku. Allah melihatku.
Allah menyaksikan aku", dan lain sebagainya yang dapat menguatkan
kebersamaannya dengan Allah, yang intinya mengandung
pengawasan terhadap kemaslahatan hati, menjaga adab bersama Allah,
mewaspadai kelalaian dan berlindung dari syetan serta hawa nafsu.
Dzikir-dzikir Nabawy menghimpun tiga perkara, yaitu: Pujian terhadap
10 Sudah kami terbitkan dengan judul "Kalimat Thayyibah", red.
Allah, penyampaian doa dan permohonan, pengakuan terhadap Allah.
Maka disebutkan di dalam hadits, "Doa yang paling baik adalah ucapan
alhamdulillah."
Ada seseorang bertanya kepada Sufyan bin Uyainah, "Apa pasalnya
alhamdulillah dijadikan doa?" Maka dia menjawab, "Apakah engkau
tidak mendengar perkataan Umayyah bin Ash-Shallat kepada Abdullah
bin Jud'an yang mengharapkan pemberiannya, "Layakkah aku
menyebutkan kebutuhanku, padahal orang yang memberiku telah
mencukupi aku? Perilakumu itu pun sudah disebut pemberian."
Dzikir-dzikir Nabawy juga mencakup kesempurnaan pengawasan, kemaslahatan
hati, kewaspadaan dari kelalaian dan berlindung dari syetan.
2. Dzikir tersembunyi, yaitu membebaskan diri dari segala belenggu,
berada bersama Allah dan hati yang senantiasa bermunajat kepada
Rabb-nya.
Yang dimaksudkan tersembunyi di sini ialah dzikir hanya dengan hati.
Ini merupakan buah dari dzikir yang pertama. Sedangkan maksud
membebaskan diri dari segala belenggu artinya membebaskan diri dari
lalai dan Iupa, membebaskan diri dari tabir penghalang antara hati
dan Allah. Berada bersama Allah artinya seakan-akan dapat melihat
Allah. Senantiasa bermunajat artinya menjadikan hati bermunajat,
terkadang dengan cara merendahkan diri, terkadang dengan cara
memuji, mengagungkan dan lain sebagainya dari macam-macam
munajat yangdilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau dengan hati.
Ini merupakan keadaan setiap orang yang jatuh cinta dan yang
dicintai.
3. Dzikir yang hakiki, yaitu pengingatan Allah terhadap dirimu, membebaskan
diri dari kesaksian dzikirmu dan mengetahui bualan orang
yang berdzikir bahwa ia berada dalam dzikir.
Dzikir dalam derajat ini disebut yang hakiki, karena dzikir itu dinisbatkan
kepada Allah. Sedangkan dzikir yang dinisbatkan kepada hamba,
maka itu bukan yang hakiki. Allah yang mengingat hamba-Nya
merupakan dzikir (pengingatan) yang hakiki. Ini merupakan kesaksian
dzikir Allah terhadap hamba-Nya dan Dia menyebutnya di antara
orang-orang yang layak untuk diingat, lalu menjadikannya orang yang
senantiasa berdzikir kepada-Nya. Jadi pada hakikatnya dia orang yang
menjadikan dirinya orang yang berdzikir kepada-Nya, lalu Allah pun
mengingatnya.
Orang yang berada dalam dzikir lalu dia mempersaksikan terhadap
dirinya bahwa dia orang yang berdzikir, merupakan bualan. Padahal
dia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat. Bualan ini tidak
hilang dari dirinya kecuali jika dia meniadakan kesaksian terhadap
dzikirnya.
Komentar
Posting Komentar