Taubat Menurut Al-Qur'an dan Kaitan Taubat dengan Istighfar

Banyak orang yang menafsiri taubat dengan tekad untuk tidak
kembali mengulangi dosa, melepaskan diri darinya seketika itu pula dan
menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lampau. Jika dosa itu
berkaitan dengan hak seseorang, maka dibutuhkan cara lain, yaitu membebaskan
diri dari dosa itu.
Inilah yang mereka sebut dengan taubat, dan bahkan itulah syaratsyaratnya.
Sementara taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, di
samping meliputi hal-hal itu, juga meliputi tekad untuk melaksana-kan
apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Jadi, taubat tidak sebatas
membebaskan diri dari dosa, tekad dan menyesal, yang kemudian dia
disebut orang yang bertaubat, sehingga dia mempunyai tekad yang bulat
untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Inilah
hakikat taubat, suatu istilah yang memadukan beberapa hal dari dua
perkara ini. Tapi kalau istilah taubat ini disertakan dengan pelaksanaan
apa yang diperintahkan, memang merupakan ungkapan seperti yang
mereka sebutkan itu. Namun jika disendirikan, maka secara otomatis dia
akan meliputi dua perkara ini. Seperti lafazh "Taqwa", yang jika disendirikan
mengandung pengertian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan
meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Jika disertakan kepada pelaksanaan
apa yang diperintahkan, maka artinya bisa menahan diri dari apa yang
dilarang.
Hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan
apa-apa yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dibenci-Nya,
atau kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai.
Kembali kepada apa yang dicintai merupakan bagian dari kelazimannya
dan kembali dari apa yang dibenci merupakan bagian yang lain. Karena itu
Allah mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa
yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
........................................................................................................................................................
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur: 31).
Setiap orang yang bertaubat adalah orang yang beruntung.
Seseorang tak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang
diperin-tahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
................................................................................................
"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang
yang zhalim." (Al-Hujurat: 11).
Orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan
apa yang dilarang adalah orang zhalim. Untuk menghilangkan sebutan
zhalim ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat, yang menghimpun dua
perkara sekaligus. Karena manusia itu ada dua macam: Orang yang
bertaubat dan orang yang zhalim. Tidak ada yang lain. Orang-orang yang
bertaubat adalah mereka yang disifati Allah,
"Yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang
sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar
dan yang memelihara hukum-hukum Allah." (At-Taubah: 112).
Memelihara hukum-hukum Allah merupakan bagian dari taubat.
Jadi taubat merupakan kumpulan dari perkara-perkara ini. Seseorang disebut
orang yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah Allah dari
larangan-Nya, kembali kepada ketaatan dari kedurhakaan kepada-Nya. Jadi
taubat merupakan hakikat Islam, dan semua unsur Islam masuk dalam
istilah taubat. Karena itu orang yang bertaubat layak menjadi kekasih
Allah, karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan juga orangorang
yang mensucikan diri. Allah suka jika perintah-Nya dilaksanakan
dan larangan-Nya ditinggalkan. Jika taubat juga disebut kembali dari apa yang
dibenci Allah secara lahir dan batin kepada apa yang dicintai Allah secara
lahir dan batin, berarti di dalamnya terkandung istilah Islam, iman dan ihsan.
Inilah yang menjadi tujuan setiap orang Mukmin, permulaan dan
kesudahan hidupnya. Banyak orang yang tidak mengetahui porsi taubat
dan hakikatnya, terlebih lagi pengamalannya berdasarkan ilmu dan
kondisinya. Karena Allah memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang
yang bertaubat, berarti mereka adalah orang-orang yang khusus di sisi-
Nya.
Istighfar ada dua macam: Istighfar yang berdiri sendiri dan istigh-far
yang dikaitkan dengan taubat. Istighfar yang berdiri sendiri seperti
perkatan Nuh Alaihis-Salam atau perkataan Shalih Alaihis-Salam kepada
kaumnya, atau seperti firman Allah,
....................................................................................................
"Dan, mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 199).
Istighfar yang dikaitkan dengan taubat, seperti firman Allah,
"Hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi keniktnatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai
kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiaptiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) ke-utamaannya."
(Hud: 3).
Istighfar yang berdiri sendiri seperti taubat, dan bahkan istighfar itu
sendiri adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan
pengaruhnya dan mengenyahkan kejahatannya, tidak seperti yang dikira
sebagian orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh Allah menutupi
aib orang yang diberi-Nya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan.
Penutupan aib hanya sekedar kelaziman dari maknanya atau sebagian di
antaranya. Istighfar inilah yang mencegah turunnya adzab, sebagaimana
firman-Nya,
............................................................................................................
"Dan, tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta
ampun." (Al-Anfal: 33).
Allah tidak akan mengadzab orang yang meminta ampunan.
Sedangkan orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga meminta
ampun kepada Allah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang mur-ni.
Karena itu, istighfarnya tidak mampu mencegah adzab. Istighfar men-cakup
taubat dan taubat mencakup istighfar, masing-masing masuk dalam
pengertian yang lain. Jika keduanya disertakan, maka makna istighfar
adalah menjaga dari kejahatan yang lampau, sedangkan makna taubat
adalah kembali dan mencari penjagaan dari sesuatu yang ditakutinya di
masa mendatang, berupa keburukan-keburukan amalnya. Ada dua macam
dosa, yaitu dosa yang telah lampau dan dosa yang dikhawatirkan akan
terjadi di masa mendatang. Istighfar dari dosa yang telah lampau berarti
mencari perlindungan dari kejahatannya, dan taubat dari dosa yang dikhawatirkan
akan terjadi berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Orang yang berdosa diibaratkan orang yang melewati suatu jalan, padahal
jalan ini akan membawanya kepada kehancuran dan tidak menghantarkannya
ke tujuan. Maka dia diperintahkan untuk menghentikan
langkah kakinya, meninggalkan jalan itu dan kembali ke jalan yang
membawanya kepada keselamatan dan menghantarkannya ke tujuan.
Dari sinilah bisa diketahui secara jelas masalah taubatan nashuhan dan
hakikatnya, seperti firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat
yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (At-Tahrim: 8).
An-Nashuh dalam taubat dan ibadah artinya membersihkannya dari
kebohongan, kekurangan dan kerusakan serta mengerjakannya sesempurna
mungkin. An-Nashuh kebalikan dari tipuan. Orang-orang salaf saling
berbeda dalam mendefinisikannya. Umar bin Al-Khaththab dan Ubay bin
Ka'b Radhiyallahu Anhuma berkata, "At-Taubatun-nashuh artinya taubat
dari suatu dosa dan pelakunya tidak mengulanginya lagi, sebagaimana air
susu yang tidak bisa kembali ke kantong kelenjarnya."
Al-Hasan Al-Bashry berkata, "Artinya, seorang hamba menyesali apa
yang dilakukannya di masa lampau dan bertekad untuk tidak mengulanginya
lagi."
Al-Kalby berkata, "Artinya, seorang hamba harus memohon ampun
dengan lidahnya, menyesal dengan hatinya dan menahan diri dengan
anggota tubuhnya."
Sa'id bin Al-Musayyab berkata, "Artinya, kalian harus jujur terhadap
diri sendiri."
Muhammad bin Ka'b Al-Qarzhy berkata, "Artinya, seorang hamba
harus menghimpun empat perkara: Istighfar dengan lidah, membebaskan
diri dengan anggota badan, tekad untuk tidak mengulang lagi dengan hati
dan menjauhi teman-teman yang masih melakukannya."
Menurut pendapat saya, at-taubatan-nashuh harus mencakup tiga
perkara:
1. Mencakup segala macam dosa yang pernah dilakukan, sehingga tidak
ada satu dosa pun melainkan sudah tercakup di dalamnya.
2. Membulatkan tekad dan kemantapan hati secara menyeluruh, sehingga
tidak ada lagi keragu-raguan dan penangguhan. Kehendak dan tekadnya
harus dibulatkan seketika itu pula.
3. Membebaskan taubat itu dari kekeruhan dan alasan-alasan tertentu
yang bisa mengotori keikhlasannya, hati didorong untuk takut kepada
Allah semata dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya, tidak seperti orang
yang bertaubat karena hendak menjaga kedudukan, pangkat dan harga
dirinya, melindungi kekuasaan, kekuatan dan hartanya, agar dipuji orang
dan tidak dicela.
Yang pertama berkaitan dengan dosa yang dimintakan taubat. Yang
kedua berkaitan dengan hati orang yang bertaubat dan jiwanya. Yang
ketiga berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.
Ada perbedaan antara menghapus kesalahan dan mengampuni dosa.
Di dalam Kitab Allah hal ini disebutkan secara berurutan, dan ada pula yang
disebutkan secara sendiri-sendiri. Yang disebutkan secara berurutan seperti
firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin,
"Wahai Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193).
Yang disebutkan secara sendirian seperti firman-Nya,
.
"Dan, orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amalamal
yang shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan
kepada Muhammad dan itulah yang hak dan Rabb mereka, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan
mereka." (Muhammad: 2).
Firman Allah tentang maghfirah (ampunan),
"Dan, mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan
dan ampunan dari Rabb mereka." (Muhammad: 15).
Di sini disebutkan empat perkara: Dosa, kesalahan, ampunan dan
penghapusan.
Dosa maksudnya adalah dosa besar. Kesalahan maksudnya adalah
dosa kecil, yang cukup hanya dengan dihapuskan. Sementara penghapusan
ini tidak efektif untuk dosa besar, seperti menghapus dosa membunuh
secara sengaja dan sumpah palsu. Inilah dalil bahwa maksud kesalahan
di sini adalah dosa kecil dan penghapusannya,
"Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan
kalian dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga)." (An-
Nisa': 31).
Disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Shalat-shalat lima waktu, Jum'at ke Jum'at dan Ramadhan ke Ramadhan
menghapus kesalahan-kesalahan di antara keduanya selagi dosadosa
besar dijauhi."
Lafazh "maghfirah" (ampunan) lebih sempurna daripada lafazh "takfir"
(penghapusan), karena itu maghfirah berlaku untuk dosa-dosa besar
dan penghapusan berlaku untuk dosa-dosa kecil. Maghfirah mencakup
pemeliharaan dan penjagaan, sedangkan takfir mencakup penutupan aib
dan pengenyahannya. Namun jika disebutkan secara sendirian, maka
masing-masing bisa masuk ke dalam pengertian yang lain. Jadi takfir bisa
mencakup dosa besar dan dosa kecil, bahkan bisa mencakup amal yang
paling buruk sekalipun, seperti firman-Nya,
"Agar Allah menghapus (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang
paling buruk yang mereka kerjakan." (Az-Zumar: 35).
Orang-orang yang berdosa mempunyai tiga sungai besar yang bisa
dipergunakan untuk membersihkan dosa-dosanya di dunia. Jika belum
juga bersih, maka mereka akan dibersihkan di sungai neraka di hari
kiamat. Tiga sungai itu ialah:
1. Sungai at-taubatun-nashuh.
2. Sungai kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah dan
menghanyutkan berbagai macam kesalahan di sekitarnya.
3. Sungai musibah dan cobaan yang menghapus semua dosa.
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka
Dia memasukkannya ke dalam salah satu sungai ini, sehingga dia datang
pada hari kiamat dalam keadaan bersih, sehingga dia tidak memerlukan
cara pensucian yang keempat.
Dosa Besar dan Dosa Kecil
Menurut nash Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijma' orang-orang salaf dan
istilah, dosa-dosa itu dibagi menjadi dua macam: Dosa-dosa besar dan
dosa-dosa kecil. Firman Allah,
"Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan
kalian." (An-Nisa': 31),
"Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang
selain dari kesalahan-kesalahan kecil." (An-Najm: 32).
Sedangkan apa yang dikisahkan dari Abu Ishaq Al-Isfira'ainy, bahwa
semua dosa adalah dosa besar dan sama sekali tidak ada dosa yang kecil,
maka bukan itu maksudnya. Sebab kalau tidak, dosa memandang sesuatu
yang diharamkan sama dengan dosa berzina. Tapi yang dimaksudkan
adalah pengaitannya dengan keagungan yang didurhakai, dengan
pengertian, sebagian bisa lebih besar dosanya daripada yang lain.
Orang-orang salaf saling berbeda pendapat tentang dosa-dosa besar.
Namun perbedaan pendapat di kalangan mereka ini tidak terlalu tajam, dan
pendapat-pendapat mereka hampir sama.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Asy-Sya'by, dari
Abdullah bin Amr, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
...................................................................................................... :..............
"Dosa-dosa besar adalah: Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua
orang tua, membunuh jiwa dan sumpah palsu."
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abu Wa'il, dari Amr bin
Syurahbil, dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Aku bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah dosa yang paling besar itu?"
Beliau menjawab, "Jika engkau membuat tandingan bagi Allah,
padahal Dialah yang menciptakan kami."
"Kemudian apa lagi?" tanyaku.
Beliau menjawab, "Jika engkau membunuh anakmu karena takut dia
makan bersamamu."
"Kemudian apa lagi?" tanyaku.
Beliau menjawab, "Jika engkau berzina dengan istri tetanggamu."
Kemudian Allah menurunkan ayat yang membenarkan sabda beliau
ini,
"Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
(alasan) yang benar dan tidak berzina." (Al-Furqan: 68).
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
.
"Jauhilah oleh kalian tujuh kedurhakaan". Mereka bertanya, "Apakah
itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang
benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri saat
pertempuran, menuduh wanita-wanita suci yang lalai dan beriman."
Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa yang termasuk dosa besar
adalah mencaci bapak dan ibu seseorang serta mencemarkan nama baik
orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
Abdullah bin Mas'ud Radhiallau Anhu berkata, "Dosa-dosa besar yang
paling besar adalah: Syirik kepada Allah, merasa aman dari tipu daya Allah,
putus asa dari rahmat Allah dan karunia-Nya."
Sa'id bin Jubair berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas
tentang dosa-dosa besar, apakah jumlahnya ada tujuh? Maka Ibnu Abbas
menjawab, "Jumlahnya lebih dekat dengan tujuh ratus macam. Hanya saja
tidak ada istilah dosa besar selagi disertai istighfar, dan tidak ada istilah
dosa kecil selagi dilakukan terus-menerus. Segala sesuatu yang dilakukan
untuk mendurhakai Allah, disebut dosa besar. Maka barangsiapa yang
melakukan sebagian dari dosa itu, hendaklah memohon ampunan kepada
Allah, karena Allah tidak mengekalkan seseorang dari umat ini di dalam
neraka kecuali orang yang keluar dari Islam, atau mengingkari satu
kewajiban atau mendustakan takdir."
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Apa yang dila-rang
Allah dari awal surat An-Nisa' hingga ayat 31, semuanya adalah dosa besar."
Adh-Dhahhak berkata, "Dosa besar adalah dosa yang telah diperingatkan
Allah, berupa hukuman yang pasti di dunia dan siksa di akhirat."
Sufyan Ats-Tsaury berkata, "Dosa-dosa besar ialah segala dosa yang di
dalamnya terdapat kezhaliman antara dirimu dan orang lain. Sedangkan
dosa kecil ialah yang di dalamnya ada kezhaliman antara dirimu dan Allah,
sebab Allah Maha Murah hati dan pasti mengampuni."
Menurut pendapat saya, yang dimaksudkan Sufyan, bahwa dosa
antara hamba dan Allah lebih mudah urusannya daripada kezhaliman
terhadap manusia, karena dosa ini dapat hilang dengan istighfar, ampunan,
syafaat dan lain-lainnya. Sedangkan kezhaliman terhadap manusia,
maka harus ada pembebasan darinya.
Menurut Malik bin Mighwal, dosa besar adalah dosanya para ahli
bid'ah, sedangkan kesalahan adalah dosanya Ahlus-sunnah. Menurut
pendapat saya, yang dimaksudkan Malik, bahwa bid'ah itu termasuk dosa
besar dan ia merupakan dosa besar Ahlus-sunnah yang paling besar. Sedangkan
dosa-dosa besar yang dilakukan Ahlus-sunnah merupakan dosa
kecil jika dibandingkan dengan bid'ah. Inilah maksud perkataan sebagian
salaf, "Bid'ah adalah kedurhakaan yang paling disukai Iblis, karena dosa
bid'ah itu tidak diampuni sedangkan dosa kedurhakaan diampuni."
Ada pula yang berpendapat, dosa besar adalah dosa yang disengaja,
sedangkan kesalahan adalah kelalaian dan sesuatu yang terpaksa dilakukan.
Menurut pendapat saya, ini merupakan definisi yang paling lemah.
Ada pula yang berpendapat, dosa besar adalah dosa yang dianggap
kecil oleh hamba, sedangkan dosa kecil adalah dosa yang dianggap besar,
sehingga dia takut untuk melakukannya.
Komentar
Posting Komentar