TENTANG AKHERAT
Berkenaan dengan nikmat surgawi dan siksaan-siksaan neraka yang akan
mengikuti kehidupan ini, semua orang yang percaya pada al-Qur'an dan
Sunnah sudah cukup mengetahuinya. Tapi ada suatu hal yang sering
terlewatkan oleh mereka, yaitu bahwa ada juga suatu surga ruhaniah dan
neraka ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada NabiNya,
"Mata tidak melihat, tidak pula telinga mendengarnya, tak pernah pula
terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang
takwa." Di dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang
membuka ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia mengetahui -
bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan dengan
pengalaman nyata - segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun
kebahagiaan di dalam jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana
seorang dokter mengetahui apa yang menyebabkan penyakit ataupun
menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan ibadah
bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut
bagi jiwa. Banyak orang, bahkan juga yang disebut sebagai ulama, karena
mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan
yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan kebahagiaan
atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari masalah
ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka akan sampai pada
keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia adalah sebagai
berikut. Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani ini
bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah dalam hati, tempat dari mana
jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupi semua anggota tubuh,
memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada
telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini bisa dibandingkan dengan
sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya
jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi. Hati adalah sumbu lampu
ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah
lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani. Tidak demikian halnya dengan
jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya manusia
mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika
jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal, tetapi laksana seorang penunggang
kuda yang telah turun atau seperti seorang pemburu yan gtelah kehilangan
senjatanya. Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia
agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan
pengetahuan tantang Allah. Jika ia telah berhasil melakukan penangkapan itu,
maka bukannya berkeluh kesah, ia pun merasa lega ketika bisa
menyingkirkan senjata-senjata itu. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda,
"Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang diharap-harapkan oleh para
mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata
pemburuannya sebelum berhasil memperoleh hadiah tersebut. Kesedihan
dan penyesalannya akan tak terperikan.
Pembahasan yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa bedanya jiwa
manusia dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa
rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh
lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana
yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali.
Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu
itu. Karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada
bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada tubuh, seperti
pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang
baik itu abadi." Tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan
bersama anda, anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah.
Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi
bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, al-Qur'an
berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat
dari jalan yang lurus."
Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk
ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia
bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan
kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana
Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan
datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak
perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam
diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia.
Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari
bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika
mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah
kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang
dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan
ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita
lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua
keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada
dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah
jatuh ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak
termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya
bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu
menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas
esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orangorang
yang terbunuh du jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup,
bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia
atas mereka." Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah tentang orangorang
mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi
saw. diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang
terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang
diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para
pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka,
beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada
engkau."
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat
mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam
keadan kerasukan (trance) seperti mati. Pada saat pulihnya kesadaran,
muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah
mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun
kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusiamanusia
yang berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah
mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun
kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik
menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri,
anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia
akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya, jika ia telah
membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi
dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan
menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari
kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya.
Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti: "Kematian adalah jembatan
yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir,
dan penjara bagi orang-orang mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber
pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa
semua oran gkafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing
memiliki 9 kepala. Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah
memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya mengapa
mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini
bersemayam di dalam ruh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu
sudah ada di dlam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan sebelum ia mati.
Karena semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya,
seperti cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain
sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun
tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka yang disediakan bagi
orang-orang yang di dlam al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka
pada dunia ini lebih daripada akhirat". Jika ular-ular itu sekadar bersifat
eksternal belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari
siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah
menjadi sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?.
Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan
tanpa tahu seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika
perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian
kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur, bangun di dalam dirinya
dengan suatu intensitas yang menyiksanya, menyengatnya seperti ular. Ia
bisa gila karenanya, mencapakkan dirinya ke dalam api atau air untuk
melarikan diri darinya. Inilah akibat cinta terhadap dunia, yang tidak pernah
terbayang dalam diri orang-orang yang memilikinya sampai ketika dunia
direnggut dari mereka dan kemudian siksaan kesia-siaan membuat mereka
mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan kepitingkepiting
eksternal belaka, berapa pun jumlahnya. Karenanya, setiap orang
yang berbuat dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke
dunia di balik kematian. Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan
melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (ainulyaqin)",
dan "neraka mengitari orang-orang kafir." Ia tidak berkata akan
mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika demikian halnya, kemudian
siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang
sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai ikatan kesenangan
dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang,
terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta
terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara orang-orang yang memiliki
kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah dan lain sebagainya
- masih ada juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan
terhadap benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya. Kasus
mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat
tinggal yan gia cintai di suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk
mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang
hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada tempat
tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara para wali adalah orangorang
seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki kecintaan pada
Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri
mereka sehingga mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar
setelah kematian sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya.
Banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi seseorang bisa dengan
mudah menguji dirinya dengan melihat ke mana cenderungnya lengan
timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan
beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup
menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah adalah suatu
kebohongan.
Telah kita lihat di atas bahwa salah satu jenis neraka ruhani itu berbentuk
pemisahan secara paksa dari benda-benda duniawi yang kepadanya hati
terikat terlalu erat. Banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya
kuman-kuman neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja
yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya dan
menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan
untuk melihat sifat tindakan-tindakan yang dulu dilakukannya dalam hakikat
telanjangnya. Orang yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk
seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang yang
mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan
batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu memantul kembali dan
mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas
berikut ini. Misalkan seorang raja baru selesai merayakan perkawinan anak
laki-lakinya. Pada malam harinya, laki-laki muda itu pergi keluar dengan
beberapa orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam keadaan
mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di
samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai wanitanya. Pagi harinya,
ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada di
dalam sebuah kamar mayat para penyembah-api. Sofanya adalah tandu
jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai mempelai
perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang mulai membusuk.
Ketika keluar dari kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia
ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu
gambaran perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat
oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri mereka pada
hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Neraka ruhaniah ketiga berbentuk kekecewaan dan kegagalan untuk
mencapai obyek kemaujudan yang sesungguhnya. Manusia diciptakan
dengan maksud untuk mencermini cahaya pengetahuan akan Tuhan. Tapi
jika ia sampai di akhirat dengan jiwa yang tersaput tebal oleh karat
pengumbaran nafsu inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk memperoleh
tujuan penciptaannya. Kekecewaannya bisa digambarkan dengan cara
berikut. Misalkan seseorang sedang melewati sebuah hutan gelap bersama
beberapa orang sahabat. Di sana-sini berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran
batu-batu berwarna. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa bendabenda
itu seraya menasehatinya agar ia turut melakukan hal yang sama.
"Karena," kata mereka, "kami dengar batu-batu itu akan memperoleh harga
tinggi di tempat yang akan kita datangi." Tapi orang ini malah menertawakan
mereka dan menyebut mereka sebagai orang-orang pandir karena
menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri
bisa berjalan bebas tak berbebani. Kemudian mereka pun menjelang terang
tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu ternyata batubatu
delima, Zamrud dan permata-permata lain yang tak terkira harganya.
Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak mengumpulkan bendabenda
yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah dibayangkan
daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang yang ketika
melalui duni aini tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan
perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap -
yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional. Dalam tahap yang
pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak
punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terusmenerus
pada lilin yang sama. Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang,
setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada
tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif,
terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh
alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau
kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap
yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu
sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan
diri bagi masa depan. Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan
dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan
sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab
dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air. Sementara itu, di balik dataran
ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa
dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang
berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis
dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran
yang paling rendah. Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu
tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta
gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia
mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh." Tidak hewan tidak
pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan. Tetapi
seseorang bisa tenggelamke dataran hewaniah atau terbang ke dataran
malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan beban" sebagaimana disebutkan
di atas oleh al-Qur'an. Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua
tahap terndah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu
bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang
jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki
keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh
nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali. Mereka berkata bahwa
neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakutnakuti
orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan
terbuka. Berbdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya.
Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini
yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung. "Benarkah anda
sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada
kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya,
benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya
yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan
masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada,
maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa
diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-
Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu
kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan
misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau
tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya
anda selesaikan baik-baik keraguan itu." Misalkan anda sedang akan makan
makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah
meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri
dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya,
meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda
atau berbohong belaka. Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang
penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah
puisi yang bisa kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari
sakit." Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan
harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu. Atau jika seoran gperamal
berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah
obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh." Meskipun mungkin anda
sedikir sekali percaya pada astrologi, kemungkinan besar anda akan
mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa orang itu benar.
Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat
dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan
orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang
penulis jampi-jampi atau seorang peramal. Orang berani melakukan
perjalanan lewat laut yan gpenuh resiko demi mengharap suatu keuntungan,
maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang
demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu
Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika
anda benar, maka tidak seoran gpun di antara kita yang akan menderita
keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka
kami akan terhindar dan anda akan menderita." Hal ini dikatakannya bukan
karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan
suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk
mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu
tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus
bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar
biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti
ajaran-ajaran Allah.
mengikuti kehidupan ini, semua orang yang percaya pada al-Qur'an dan
Sunnah sudah cukup mengetahuinya. Tapi ada suatu hal yang sering
terlewatkan oleh mereka, yaitu bahwa ada juga suatu surga ruhaniah dan
neraka ruhaniah. Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada NabiNya,
"Mata tidak melihat, tidak pula telinga mendengarnya, tak pernah pula
terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang
takwa." Di dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang
membuka ke arah hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia mengetahui -
bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan dengan
pengalaman nyata - segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun
kebahagiaan di dalam jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana
seorang dokter mengetahui apa yang menyebabkan penyakit ataupun
menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan ibadah
bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut
bagi jiwa. Banyak orang, bahkan juga yang disebut sebagai ulama, karena
mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan
yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan kebahagiaan
atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari masalah
ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka akan sampai pada
keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia adalah sebagai
berikut. Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa ruhani. Jiwa ruhani ini
bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah dalam hati, tempat dari mana
jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupi semua anggota tubuh,
memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada
telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini bisa dibandingkan dengan
sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya
jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi. Hati adalah sumbu lampu
ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah
lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani. Tidak demikian halnya dengan
jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Ia tak terpilahkan dan dengannya manusia
mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika
jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal, tetapi laksana seorang penunggang
kuda yang telah turun atau seperti seorang pemburu yan gtelah kehilangan
senjatanya. Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia
agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan
pengetahuan tantang Allah. Jika ia telah berhasil melakukan penangkapan itu,
maka bukannya berkeluh kesah, ia pun merasa lega ketika bisa
menyingkirkan senjata-senjata itu. Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda,
"Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang diharap-harapkan oleh para
mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata
pemburuannya sebelum berhasil memperoleh hadiah tersebut. Kesedihan
dan penyesalannya akan tak terperikan.
Pembahasan yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa bedanya jiwa
manusia dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa
rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh
lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana
yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali.
Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu
itu. Karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada
bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada tubuh, seperti
pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang
baik itu abadi." Tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan
bersama anda, anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah.
Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi
bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, al-Qur'an
berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat
dari jalan yang lurus."
Alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk
ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia
bersifat malaikat. Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan
kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana
Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan
datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak
perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam
diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia.
Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari
bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika
mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah
kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang
dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan
ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita
lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua
keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada
dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah
jatuh ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak
termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya
bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu
menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas
esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orangorang
yang terbunuh du jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup,
bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia
atas mereka." Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah tentang orangorang
mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi
saw. diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang
terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang
diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para
pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka,
beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada
engkau."
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat
mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam
keadan kerasukan (trance) seperti mati. Pada saat pulihnya kesadaran,
muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah
mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun
kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusiamanusia
yang berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah
mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun
kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik
menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri,
anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia
akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya, jika ia telah
membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi
dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan
menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari
kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya.
Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti: "Kematian adalah jembatan
yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir,
dan penjara bagi orang-orang mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber
pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa
semua oran gkafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing
memiliki 9 kepala. Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah
memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya mengapa
mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini
bersemayam di dalam ruh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu
sudah ada di dlam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan sebelum ia mati.
Karena semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya,
seperti cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain
sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun
tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka yang disediakan bagi
orang-orang yang di dlam al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka
pada dunia ini lebih daripada akhirat". Jika ular-ular itu sekadar bersifat
eksternal belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari
siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah
menjadi sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?.
Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan
tanpa tahu seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika
perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian
kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur, bangun di dalam dirinya
dengan suatu intensitas yang menyiksanya, menyengatnya seperti ular. Ia
bisa gila karenanya, mencapakkan dirinya ke dalam api atau air untuk
melarikan diri darinya. Inilah akibat cinta terhadap dunia, yang tidak pernah
terbayang dalam diri orang-orang yang memilikinya sampai ketika dunia
direnggut dari mereka dan kemudian siksaan kesia-siaan membuat mereka
mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan kepitingkepiting
eksternal belaka, berapa pun jumlahnya. Karenanya, setiap orang
yang berbuat dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke
dunia di balik kematian. Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan
melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (ainulyaqin)",
dan "neraka mengitari orang-orang kafir." Ia tidak berkata akan
mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika demikian halnya, kemudian
siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang
sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai ikatan kesenangan
dan kepentingan. Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang,
terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta
terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara orang-orang yang memiliki
kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah dan lain sebagainya
- masih ada juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan
terhadap benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya. Kasus
mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat
tinggal yan gia cintai di suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk
mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang
hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada tempat
tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara para wali adalah orangorang
seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki kecintaan pada
Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri
mereka sehingga mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar
setelah kematian sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya.
Banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi seseorang bisa dengan
mudah menguji dirinya dengan melihat ke mana cenderungnya lengan
timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan
beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup
menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah adalah suatu
kebohongan.
Telah kita lihat di atas bahwa salah satu jenis neraka ruhani itu berbentuk
pemisahan secara paksa dari benda-benda duniawi yang kepadanya hati
terikat terlalu erat. Banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya
kuman-kuman neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja
yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya dan
menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan
untuk melihat sifat tindakan-tindakan yang dulu dilakukannya dalam hakikat
telanjangnya. Orang yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk
seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang yang
mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan
batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu memantul kembali dan
mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas
berikut ini. Misalkan seorang raja baru selesai merayakan perkawinan anak
laki-lakinya. Pada malam harinya, laki-laki muda itu pergi keluar dengan
beberapa orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam keadaan
mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di
samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai wanitanya. Pagi harinya,
ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada di
dalam sebuah kamar mayat para penyembah-api. Sofanya adalah tandu
jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai mempelai
perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang mulai membusuk.
Ketika keluar dari kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia
ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu
gambaran perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat
oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri mereka pada
hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Neraka ruhaniah ketiga berbentuk kekecewaan dan kegagalan untuk
mencapai obyek kemaujudan yang sesungguhnya. Manusia diciptakan
dengan maksud untuk mencermini cahaya pengetahuan akan Tuhan. Tapi
jika ia sampai di akhirat dengan jiwa yang tersaput tebal oleh karat
pengumbaran nafsu inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk memperoleh
tujuan penciptaannya. Kekecewaannya bisa digambarkan dengan cara
berikut. Misalkan seseorang sedang melewati sebuah hutan gelap bersama
beberapa orang sahabat. Di sana-sini berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran
batu-batu berwarna. Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa bendabenda
itu seraya menasehatinya agar ia turut melakukan hal yang sama.
"Karena," kata mereka, "kami dengar batu-batu itu akan memperoleh harga
tinggi di tempat yang akan kita datangi." Tapi orang ini malah menertawakan
mereka dan menyebut mereka sebagai orang-orang pandir karena
menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri
bisa berjalan bebas tak berbebani. Kemudian mereka pun menjelang terang
tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu ternyata batubatu
delima, Zamrud dan permata-permata lain yang tak terkira harganya.
Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak mengumpulkan bendabenda
yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah dibayangkan
daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang yang ketika
melalui duni aini tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan
perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap -
yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional. Dalam tahap yang
pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak
punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terusmenerus
pada lilin yang sama. Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang,
setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul. Pada
tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif,
terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh
alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau
kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap
yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu
sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan
diri bagi masa depan. Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan
dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan
sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab
dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air. Sementara itu, di balik dataran
ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa
dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang
berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis
dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran
yang paling rendah. Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu
tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta
gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia
mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh." Tidak hewan tidak
pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan. Tetapi
seseorang bisa tenggelamke dataran hewaniah atau terbang ke dataran
malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan beban" sebagaimana disebutkan
di atas oleh al-Qur'an. Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua
tahap terndah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu
bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang
jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki
keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh
nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali. Mereka berkata bahwa
neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakutnakuti
orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan
terbuka. Berbdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya.
Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini
yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung. "Benarkah anda
sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada
kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya,
benar?" Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya
yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan
masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada,
maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa
diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-
Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu
kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan
misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau
tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya
anda selesaikan baik-baik keraguan itu." Misalkan anda sedang akan makan
makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah
meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri
dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya,
meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda
atau berbohong belaka. Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang
penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah
puisi yang bisa kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari
sakit." Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan
harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu. Atau jika seoran gperamal
berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah
obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh." Meskipun mungkin anda
sedikir sekali percaya pada astrologi, kemungkinan besar anda akan
mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa orang itu benar.
Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat
dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan
orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang
penulis jampi-jampi atau seorang peramal. Orang berani melakukan
perjalanan lewat laut yan gpenuh resiko demi mengharap suatu keuntungan,
maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang
demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu
Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika
anda benar, maka tidak seoran gpun di antara kita yang akan menderita
keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka
kami akan terhindar dan anda akan menderita." Hal ini dikatakannya bukan
karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan
suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasar semua pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk
mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu
tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus
bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar
biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti
ajaran-ajaran Allah.
Komentar
Posting Komentar