Orang Taat Yang Tidak Pernah Durhaka dan Orang Durhaka Yang Melakukan Taubatan Nashuhan


Dari sini pula dapat diketahui satu masalah yang cukup penting,
apakah orang taat yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang
durhaka yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuhan? Atau-kah
orang yang bertaubat itu yang lebih baik?
Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada golongan orang
yang menegaskan bahwa orang yang tidak pernah durhaka lebih baik
daripada orang durhaka yang melakukan taubatan nashuhan (taubat
dengan sebenar-benarnya). Mereka mengemukakan beberapa hujjah:
1. Hamba yang paling sempurna dan utama ialah yang paling taat kepada
Allah. Orang yang tidak pernah durhaka berarti orang yang paling taat,
sehingga dia menjadi orang yang paling utama.
2. Pada saat orang durhaka sibuk dengan kedurhakaannya, maka orang
yang taat menempuh beberapa tahapan menuju ke atas, sehingga
derajatnya lebih tinggi. Taruklah bahwa orang yang durhaka itu bertaubat
lalu menyusul perjalanannya. Tapi mana mungkin dia dapat
menyusulnya, karena sebelumnya dia sudah berhenti?
3. Maksud taubat adalah untuk menghapus kesalahan-kesalahannya, lalu
setelah itu dia seperti tidak pernah melakukan kesalahan itu. Perbuatannya
pada masa kedurhakaan tidak mendatangkan keberuntungan dan
tidak pula hukuman baginya. Lalu bagaimana jika keadaannya ini
dibandingkan dengan orang yang berusaha dan mendapat keberuntungan?
4. Allah membenci kedurhakaan terhadap-Nya dan menyalahi perintah-
Nya. Pada waktu dia melakukan dosa ini, maka dia mendapat kebencian
dari Allah. Sementara orang yang taat mendapat keridhaan dan
Allah senantiasa ridha kepadanya. Maka tidak dapat diragukan bahwa
keadaan orang kedua ini lebih baik daripada keadaan orang yang diridhai
Allah, lalu dimurkai, lalu diridhai. Ridha yang berkelanjutan
lebih baik daripada ridha yang berselang-seling.
5. Dosa itu bisa diibaratkan minum racun, sedangkan taubat merupakan
penawar dan obatnya. Sementara ketaatan bisa diibaratkan kesehatan.
Terus-menerus dalam keadaan sehat tentu lebih baik daripada keadaan
sehat yang diselingi dengan sakit karena sakit atau racun yang masuk,
lalu sembuh dan sehat kembali.
6. Orang yang durhaka dalam keadaan gawat dan terancam bahaya, yang
keadaannya tidak lepas dari tiga hal: Mati karena minum racun, kekuatannya
berkurang dan melemah kalau memang tidak mati, dan kekuatannya
kembali seperti semula, atau lebih lemah atau lebih baik.
7. Orang yang taat berada dalam sebuah kebun yang dikelilingi ketaatannya,
sehingga membentuk pagar yang kokoh bagi dirinya, dan musuh
pun tidak mampu menyusup ke sana. Tumbuh-tumbuhannya segar dan
buahnya lebat.
8. Musuh tamak kepada orang yang durhaka, karena kelemahan ilmu dan
tekadnya, karena itu dia disebut orang jahil.
9. Kedurhakaan pasti menimbulkan pengaruh yang kurang baik, entah
berupa kehancuran total, penyesalan atau pun siksaan, dan kesudahannya
bisa berupa ampunan dan masuk ke surga. Orang yang bertau-bat
harus membebaskan pengaruh ini dan menebus kesalahannya,
sedangkan orang yang taat tinggal menambah dan meninggikan derajatnya.
Maka shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bermanfaat untuk meninggikan derajat beliau, sedangkan shalat
malam yang dilakukan selain beliau untuk menebus kesalahan. Dua
keadaan ini saja tidak bisa disetarakan.
10. Orang taat kepada Allah berjalan dengan seluruh amalnya. Selagi ke
taatan dan amalnya bertambah, maka bertambah pula usaha ketaatannya.
Dia bisa diibaratkan pedagang yang melancong dan berusaha
untuk mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat dari modalnya.
Lalu dia melancong lagi dengan membawa modal pertama dan ditambah
keuntungannya, sehingga dia mendapatkan keuntungan sepuluh
kali lipat lagi. Begitu seterusnya dalam perjalanan ketiga kalinya, de
ngan keuntungan yang berlipat-lipat. Apabila sekali saja dia tidak mengadakan
perjalanan, maka dia tidak akan mendapatkan keuntungan
seperti yang dia dapatkan dalam satu kali perjalanannya, atau bahkan
lebih. Inilah makna yang tersirat di dalam perkataan Al-Junaid Rahimahullah,
"Jika orang yang beribadah menghadap secara tulus kepa
da Allah selama seribu tahun, kemudian dia berpaling sesaat saja, maka
pahala yang terlepas darinya lebih banyak daripada apa yang didapatkannya."
Ada golongan lain yang mengatakan bahwa orang yang bertaubat
dengan taubatan nashuhan lebih baik daripada orang yang belum pernah
melakukan kedurhakaan, sekalipun mereka tidak mengingkari keadaan
orang kedua yang lebih banyak kebaikannya. Mereka mengemukakan
beberapa alasan:
1. Taubat merupakan ubudiyah yang paling dicintai Allah dan paling
mulia, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Andaikan taubat
bukan merupakan sesuatu paling Dia cintai, tentunya Dia tidak akan
menguji hamba dengan dosa. Karena kecintaan-Nya kepada taubat
hamba, maka Dia mengujinya dengan dosa, agar hamba itu melakukan
sesuatu yang paling dicintai-Nya, yaitu taubat. Sebagai tambahan atas
kecintaan-Nya kepada hamba, maka orang-orang yang bertaubat
mendapatkan kecintaan secara khusus di sisi-Nya.
2. Taubat mempunyai tempat tersendiri di sisi Allah, yang tidak dimiliki
ketaatan-ketaatan lainnya. Karena itu Allah amat gembira melihat
taubat hamba-Nya. Kegembiraan Allah itu dimisalkan Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam dengan kegembiraan seorang musafir yang
mendapatkan kembali onta yang membawa seluruh bekalnya, di suatu
tempat yang ganas dan kering, setelah onta itu lepas entah kemana, dan
orang itu sudah putus asa untuk bisa bertahan hidup di tempat itu.
Kegembiraan ini tidak ditampakkan terhadap satu ketaatan pun kecuali
terhadap taubat. Tentu saja kegembiraan Allah ini mempunyai pengaruh
yang amat kuat di dalam hati orang yang bertaubat. Sehing-ga orang
yang bertaubat mendapatkan kecintaan Allah, yang berarti dia menjadi
kekasih Allah.
3. Di dalam taubat terkandung kehinaan, kehancuran hati, kehampaan,
ketundukan dan kebergantungan kepada Allah, suatu sikap yang lebih
dicintai Allah daripada sekian banyak amal-amal zhahir, sekalipun
takaran dan porsinya lebih banyak daripada ubudiyah taubat. Sebab
menghinakan diri merupakan ruh ibadah dan intinya.
4. Tingkatan menghinakan diri bagi orang yang bertaubat lebih sempur-na
daripada tingkatan-tingkatan ubudiyah lainnya, karena dia masih bisa
melakukan apa yang dilakukan orang lain, sementara dia memi-liki
keistimewaan dengan menghinakan diri dan merasakan hatinya yang
hampa. Allah lebih dekat dengan hamba-Nya saat dia menghinakan
diri.
5. Terkadang dosa justru lebih bermanfaat bagi hamba selagi disertai
dengan taubat daripada berbagai macam ketaatan. Inilah makna
perkataan sebagian orang salaf, "Adakalanya seorang hamba berbuat
dosa lalu masuk surga, dan adakalanya seorang hamba melakukan
ketaatan lalu masuk neraka."
Orang-orang bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Dia menjawab,
"Dia berbuat dosa, dan dosa itu selalu tampak di depan matanya. Jika
berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat dosanya itu lalu membuat
hatinya terasa hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan,
sehingga yang demikian ini menjadi sebab keselamatannya. Dia
berbuat kebaikan dan kebaikannya itu selalu tampak di depan matanya.
Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat kebaikannya itu,
sehingga membuatnya takabur, ujub dan merasa telah mendapat karunia,
sehingga yang demikian ini menjadi sebab kebinasaannya."
Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seorang hamba, maka Dia
memberinya dosa yang membuat hatinya hancur, kepalanya merunduk,
tidak ujub dan tidak takabur, sehingga dosa ini lebih ber-manfaat
daripada sekian banyak ketaatan. Taubatnya ini bisa diumpa-makan obat
yang diminum untuk mengeluarkan seluruh penyakit di dalam tubuh.
6. Ada kabar gembira yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang
bertaubat, jika taubatnya itu disertai dengan iman dan amal shalih,
sebagaimana firman-Nya,
"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan,
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Furqan: 70).
Ibnu Abbas berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam menunjukkan kegembiraan karena sesuatu seperti kegembiraan
beliau saat ayat ini turun, begitu pula saat surat Al-Fath turun." Orangorang
berbeda pendapat tentang sifat penggantian ini, apakah hal itu
berlaku di dunia ataukah di akhirat? Menurut Ibnu Abbas dan rekanrekannya,
keburukan amal mereka diganti dengan kebaikan, syirik
diganti dengan iman, zina diganti dengan menjaga kehormat-annya,
dusta diganti dengan kejujuran, khianat diganti dengan amanat.
Berdasarkan makna ayat ini, sifat-sifat dan amal-amal mereka yang
buruk diganti dengan sifat dan amal yang shalih, sebagaimana sakit
yang diganti dengan kesehatan.
Sedangkan menurut Sa'id bin Al-Musayyab dan lain-lainnya dari
kalangan tabi'in, maksudnya Allah mengganti keburukan yang mereka
lakukan di dunia dengan kebaikan di akhirat, Dia memberi tempat bagi
setiap keburukan dengan kebaikan.
7. Dengan penyesalannya, orang yang bertaubat mengganti setiap
keburukannya dengan kebaikan. Penyesalan ini merupakan wujud taubat
dari keburukan itu. Taubat dari segala dosa adalah kebaikan. Sehingga
setiap dosa yang dilakukan akan hilang dengan adanya taubat, karena
tempatnya diganti dengan kebaikan. Berdasarkan logika seperti ini,
porsi kebaikan itu akan menjadi sama dengan keburukan, lebih sedikit
atau lebih banyak. Ini tergantung dari bobot taubat dan ketulusan hati
orang yang bertaubat. Inilah rahasia masalah taubat dan sentuhannya
yang halus.
8. Dosa orang yang diakui pelakunya bisa menimbulkan kebaikan yang
lebih besar, lebih banyak, lebih bermanfaat dan lebih mendatangkan
kecintaan Allah daripada dosa itu sendiri. Sampai-sampai syetan berkata,
"Andaikan saja aku tidak pernah menyeretnya untuk melakukan dosa
itu." Syetan merasa menyesal karena mendorong dan menyeret orang
itu untuk melakukan dosa, seperti penyesalan pelakunya karena telah
melakukan dosa itu. Tetapi dua penyesalan ini jauh berbeda. Allah
menyukai hamba-Nya karena telah memancing amarah musuh-Nya,
sementara hamba itu juga mendapatkan sesuatu yang dicintai Allah,
yaitu taubat, apalagi jika taubat itu disertai dengan tambahan amal
shalih, sehingga satu keburukan berubah menjadi satu kebaikan dan
bahkan banyak kebaikan.
Perhatikanlah firman Allah, "Maka kejahatan-kejahatan mereka di-ganti
Allah dengan kebaikan-kebaikan". Allah tidak mengatakan satu bilangan
keburukan dan kebaikan, tetapi banyak. Ini bisa berarti satu keburukan
diganti dengan banyak kebaikan, tergantung dari kondisinya.
Taubat Menurut Al-Qur'an dan Kaitan Taubat dengan
Istighfar
Banyak orang yang menafsiri taubat dengan tekad untuk tidak
kembali mengulangi dosa, melepaskan diri darinya seketika itu pula dan
menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lampau. Jika dosa itu
berkaitan dengan hak seseorang, maka dibutuhkan cara lain, yaitu membebaskan
diri dari dosa itu.
Inilah yang mereka sebut dengan taubat, dan bahkan itulah syaratsyaratnya.
Sementara taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, di
samping meliputi hal-hal itu, juga meliputi tekad untuk melaksana-kan
apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Jadi, taubat tidak sebatas
membebaskan diri dari dosa, tekad dan menyesal, yang kemudian dia
disebut orang yang bertaubat, sehingga dia mempunyai tekad yang bulat
untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Inilah
hakikat taubat, suatu istilah yang memadukan beberapa hal dari dua
perkara ini. Tapi kalau istilah taubat ini disertakan dengan pelaksanaan
apa yang diperintahkan, memang merupakan ungkapan seperti yang
mereka sebutkan itu. Namun jika disendirikan, maka secara otomatis dia
akan meliputi dua perkara ini. Seperti lafazh "Taqwa", yang jika disendirikan
mengandung pengertian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan
meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Jika disertakan kepada pelaksanaan
apa yang diperintahkan, maka artinya bisa menahan diri dari apa yang
dilarang.
Hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan
apa-apa yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dibenci-Nya,
atau kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai.
Kembali kepada apa yang dicintai merupakan bagian dari kelazimannya
dan kembali dari apa yang dibenci merupakan bagian yang lain. Karena itu
Allah mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa
yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur: 31).
Setiap orang yang bertaubat adalah orang yang beruntung.
Seseorang tak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang
diperin-tahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,
"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang
yang zhalim." (Al-Hujurat: 11).
Orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan
apa yang dilarang adalah orang zhalim. Untuk menghilangkan sebutan
zhalim ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat, yang menghimpun dua
perkara sekaligus. Karena manusia itu ada dua macam: Orang yang
bertaubat dan orang yang zhalim. Tidak ada yang lain. Orang-orang yang
bertaubat adalah mereka yang disifati Allah,
"Yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang
sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar
dan yang memelihara hukum-hukum Allah." (At-Taubah: 112).
Memelihara hukum-hukum Allah merupakan bagian dari taubat.
Jadi taubat merupakan kumpulan dari perkara-perkara ini. Seseorang disebut
orang yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah Allah dari
larangan-Nya, kembali kepada ketaatan dari kedurhakaan kepada-Nya. Jadi
taubat merupakan hakikat Islam, dan semua unsur Islam masuk dalam
istilah taubat. Karena itu orang yang bertaubat layak menjadi kekasih
Allah, karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan juga orangorang
yang mensucikan diri. Allah suka jika perintah-Nya dilaksanakan
dan larangan-Nya ditinggalkan. Jika taubat juga disebut kembali dari apa yang
dibenci Allah secara lahir dan batin kepada apa yang dicintai Allah secara
lahir dan batin, berarti di dalamnya terkandung istilah Islam, iman dan ihsan.
Inilah yang menjadi tujuan setiap orang Mukmin, permulaan dan
kesudahan hidupnya. Banyak orang yang tidak mengetahui porsi taubat
dan hakikatnya, terlebih lagi pengamalannya berdasarkan ilmu dan
kondisinya. Karena Allah memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang
yang bertaubat, berarti mereka adalah orang-orang yang khusus di sisi-
Nya.
Istighfar ada dua macam: Istighfar yang berdiri sendiri dan istigh-far
yang dikaitkan dengan taubat. Istighfar yang berdiri sendiri seperti
perkatan Nuh Alaihis-Salam atau perkataan Shalih Alaihis-Salam kepada
kaumnya, atau seperti firman Allah,
"Dan, mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 199).
Istighfar yang dikaitkan dengan taubat, seperti firman Allah,
"Hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi keniktnatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai
kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiaptiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) ke-utamaannya."
(Hud: 3).
Istighfar yang berdiri sendiri seperti taubat, dan bahkan istighfar itu
sendiri adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan
pengaruhnya dan mengenyahkan kejahatannya, tidak seperti yang dikira
sebagian orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh Allah menutupi
aib orang yang diberi-Nya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan.
Penutupan aib hanya sekedar kelaziman dari maknanya atau sebagian di
antaranya. Istighfar inilah yang mencegah turunnya adzab, sebagaimana
firman-Nya,
"Dan, tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta
ampun." (Al-Anfal: 33).
Allah tidak akan mengadzab orang yang meminta ampunan.
Sedangkan orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga meminta
ampun kepada Allah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang mur-ni.
Karena itu, istighfarnya tidak mampu mencegah adzab. Istighfar men-cakup
taubat dan taubat mencakup istighfar, masing-masing masuk dalam
pengertian yang lain. Jika keduanya disertakan, maka makna istighfar
adalah menjaga dari kejahatan yang lampau, sedangkan makna taubat
adalah kembali dan mencari penjagaan dari sesuatu yang ditakutinya di
masa mendatang, berupa keburukan-keburukan amalnya. Ada dua macam
dosa, yaitu dosa yang telah lampau dan dosa yang dikhawatirkan akan
terjadi di masa mendatang. Istighfar dari dosa yang telah lampau berarti
mencari perlindungan dari kejahatannya, dan taubat dari dosa yang dikhawatirkan
akan terjadi berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Orang yang berdosa diibaratkan orang yang melewati suatu jalan, padahal
jalan ini akan membawanya kepada kehancuran dan tidak menghantarkannya
ke tujuan. Maka dia diperintahkan untuk menghentikan
langkah kakinya, meninggalkan jalan itu dan kembali ke jalan yang
membawanya kepada keselamatan dan menghantarkannya ke tujuan.
Dari sinilah bisa diketahui secara jelas masalah taubatan nashuhan dan
hakikatnya, seperti firman Allah,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat
yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus
kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (At-Tahrim: 8).
An-Nashuh dalam taubat dan ibadah artinya membersihkannya dari
kebohongan, kekurangan dan kerusakan serta mengerjakannya sesempurna
mungkin. An-Nashuh kebalikan dari tipuan. Orang-orang salaf saling
berbeda dalam mendefinisikannya. Umar bin Al-Khaththab dan Ubay bin
Ka'b Radhiyallahu Anhuma berkata, "At-Taubatun-nashuh artinya taubat
dari suatu dosa dan pelakunya tidak mengulanginya lagi, sebagaimana air
susu yang tidak bisa kembali ke kantong kelenjarnya."
Al-Hasan Al-Bashry berkata, "Artinya, seorang hamba menyesali apa
yang dilakukannya di masa lampau dan bertekad untuk tidak mengulanginya
lagi."
Al-Kalby berkata, "Artinya, seorang hamba harus memohon ampun
dengan lidahnya, menyesal dengan hatinya dan menahan diri dengan
anggota tubuhnya."
Sa'id bin Al-Musayyab berkata, "Artinya, kalian harus jujur terhadap
diri sendiri."
Muhammad bin Ka'b Al-Qarzhy berkata, "Artinya, seorang hamba
harus menghimpun empat perkara: Istighfar dengan lidah, membebaskan
diri dengan anggota badan, tekad untuk tidak mengulang lagi dengan hati
dan menjauhi teman-teman yang masih melakukannya."
Menurut pendapat saya, at-taubatan-nashuh harus mencakup tiga
perkara:
1. Mencakup segala macam dosa yang pernah dilakukan, sehingga tidak
ada satu dosa pun melainkan sudah tercakup di dalamnya.
2. Membulatkan tekad dan kemantapan hati secara menyeluruh, sehingga
tidak ada lagi keragu-raguan dan penangguhan. Kehendak dan tekadnya
harus dibulatkan seketika itu pula.
3. Membebaskan taubat itu dari kekeruhan dan alasan-alasan tertentu
yang bisa mengotori keikhlasannya, hati didorong untuk takut kepada
Allah semata dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya, tidak seperti orang
yang bertaubat karena hendak menjaga kedudukan, pangkat dan harga
dirinya, melindungi kekuasaan, kekuatan dan hartanya, agar dipuji orang
dan tidak dicela.
Yang pertama berkaitan dengan dosa yang dimintakan taubat. Yang
kedua berkaitan dengan hati orang yang bertaubat dan jiwanya. Yang
ketiga berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.
Ada perbedaan antara menghapus kesalahan dan mengampuni dosa.
Di dalam Kitab Allah hal ini disebutkan secara berurutan, dan ada pula yang
disebutkan secara sendiri-sendiri. Yang disebutkan secara berurutan seperti
firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin,
"Wahai Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah
dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193).
Yang disebutkan secara sendirian seperti firman-Nya,
"Dan, orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amalamal
yang shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan
kepada Muhammad dan itulah yang hak dan Rabb mereka, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan
mereka." (Muhammad: 2).
Firman Allah tentang maghfirah (ampunan),
"Dan, mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan
dan ampunan dari Rabb mereka." (Muhammad: 15).
Di sini disebutkan empat perkara: Dosa, kesalahan, ampunan dan
penghapusan.
Dosa maksudnya adalah dosa besar. Kesalahan maksudnya adalah
dosa kecil, yang cukup hanya dengan dihapuskan. Sementara penghapusan
ini tidak efektif untuk dosa besar, seperti menghapus dosa membunuh
secara sengaja dan sumpah palsu. Inilah dalil bahwa maksud kesalahan
di sini adalah dosa kecil dan penghapusannya,
"Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan
kalian dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga)." (An-
Nisa': 31).
Disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Shalat-shalat lima waktu, Jum'at ke Jum'at dan Ramadhan ke Ramadhan
menghapus kesalahan-kesalahan di antara keduanya selagi dosadosa
besar dijauhi."
Lafazh "maghfirah" (ampunan) lebih sempurna daripada lafazh "takfir"
(penghapusan), karena itu maghfirah berlaku untuk dosa-dosa besar
dan penghapusan berlaku untuk dosa-dosa kecil. Maghfirah mencakup
pemeliharaan dan penjagaan, sedangkan takfir mencakup penutupan aib
dan pengenyahannya. Namun jika disebutkan secara sendirian, maka
masing-masing bisa masuk ke dalam pengertian yang lain. Jadi takfir bisa
mencakup dosa besar dan dosa kecil, bahkan bisa mencakup amal yang
paling buruk sekalipun, seperti firman-Nya,
"Agar Allah menghapus (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang
paling buruk yang mereka kerjakan." (Az-Zumar: 35).
Orang-orang yang berdosa mempunyai tiga sungai besar yang bisa
dipergunakan untuk membersihkan dosa-dosanya di dunia. Jika belum
juga bersih, maka mereka akan dibersihkan di sungai neraka di hari
kiamat. Tiga sungai itu ialah:
1. Sungai at-taubatun-nashuh.
2. Sungai kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah dan
menghanyutkan berbagai macam kesalahan di sekitarnya.
3. Sungai musibah dan cobaan yang menghapus semua dosa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzikir

AYAT DAN SURAH YANG DIUTAMAKAN MEMBACANYA PADA WAKTU-WAKTU TERTENTU

Terjemah KITAB AKHLAQ BAGI PEREMPUAN