Zuhud
di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya
yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat,
pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki
suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di
dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan
hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih
penting.
Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masingmasing
mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaannya.
Padahal pembicaraan berdasarkan bahasa ilmu, jauh lebih luas daripada
berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat
kepada hujjah dan bukti keterangan.
Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan
akhirat. Sedangkan wara' ialah meninggalkan apa-apa yang
mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat."
Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk
istilah zuhud dan wara'.
Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak
mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan
pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, "Aku pernah mendengar
Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya,
menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan
mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya.
Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka."
Dia juga berkata, "Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan
dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia."
Menurut Yahya bin Mu'adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan
dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan
2 Zuhud dalam sesuatu menurut Bahasa Arab artinya berpaling darinya karena
menganggapnya hina dan remeh serta yang lebih baik adalah tidak membutuhkannya.
Lafazh ini tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an selain keterangan tentang orang-orang
yang menjual Yusuf dengan harga yang murah, "Dan, mereka menjual Yusuf dengan harga
yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada
Yusuf."(Yusuf: 20).
dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala', zuhud itu memandang dunia
dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk
berpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika
dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di
dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat
darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan
tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang
seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut
orang zuhud? Jawabnya, "Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah
ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang."
Menurut Abdullah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada
Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama
juga dinyatakan Syaqiq dan Yusuf bin Asbath.
Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara:
Meninggalkan yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang
awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini
merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan
selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang memiliki
ma'rifat.
Yang pasti, para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu merupakan
perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat. Atas
dasar pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud,
seperti Ibnul-Mubarak, Al-Imam Ahmad, Waki', Hanad bin As-Siry dan
lain-lainnya.
Kaitan zuhud ini ada enam macam. Seseorang tidak layak menda-pat
sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam ini: Harta, rupa,
kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain Allah. Bukan maksudnya
menolak hak milik. Sulaiman dan Daud Alaihimas-Salam adalah orang
yang paling zuhud pada zamannya, tapi dua nabi Allah ini memiliki harta,
kekuasaan dan istri yang tidak dimiliki orang selain mereka. Sudah barang
tentu Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang
yang paling zuhud, tapi beliau mempunyai sembilan istri. Ali bin Abu
Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang
yang zuhud, tapi mereka mempunyai harta yang melimpah. Begi-tu pula
Al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Al-Mubarak, Al-Laits bin Sa'd, yang semuanya
merupakan imam orang-orang zuhud, namun mereka juga kaya raya.
Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh
adalah seperti yang dikatakan Al-Hasan atau selainnya, "Zuhud di
dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta,
tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di Tangan Allah daripada
apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu, maka
pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak ditim-pa
musibah sama sekali."
Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih
memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak?
Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang
halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti
tidak ada lagi zuhud.
Tapi pendapatnya ini disanggah banyak orang, karena di dunia ini
masih ada yang halal, meskipun yang haram memang banyak. Taruklah
bahwa di dunia tidak ada yang halal, maka justru keadaan ini lebih mendorong
kepada zuhud, yang harus diterima layaknya orang yang terpak-sa
menerimanya, seperti keterpaksaan memakan bangkai.
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan bahwa zuhud adalah
meninggalkan segala sesuatu (selain Allah) secara total (dari hati), tanpa
menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Ada tiga derajat zuhud:
1. Zuhud dalam syubhat, setelah meninggalkan yang haram, karena tidak
menyukai celaan di mata Allah, tidak menyukai kekurangan dan tidak
suka bergabung dengan orang-orang fasik.
Zuhud dalam syubhat artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan,
apakah sesuatu halal ataukah haram dalam pandangan seorang ham-ba,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits An-Nu'man bin Basyir
Radhiyallahu Anhutna, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
beliau bersabda,
"halal itu nyata dan yang haram itu juga nyata, dan di antara ke-duanya
ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui kebanyak-an
manusia. Siapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah menjauhi yang
haram, dan siapa yang berada dalam syubhat, maka dia berada dalam
hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar
tanaman yang dilindungi, begitu cepat dia merumput di dalamnya.
Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tempat yang dilindungi.
Ketahuilah bahwa tempat yang dilindungi Allah adalah hal-hal yang
diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal
darah, yang sekiranya segumpal darah ini baik, maka baik pula seluruh
jasad, dan jika segumpal darah ini rusak, maka rusak pula seluruh jasad.
Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati."
Syubhat merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Allah
telah menjadikan sekat antara dua hal yang saling berbeda, seperti
kematian dan sesudahnya yang menjadi sekat antara dunia dan akhirat,
seperti kedurhakaan yang menjadi sekat antara iman dan kufur, seperti
Al-A'raf yang menjadi sekat antara surga dan neraka, seperti terbit dan
tenggelamnya matahari yang menjadi sekat antara malam dan siang
dan masih banyak sekat-sekat lain yang telah diciptakan Allah sebagai
pembatas antara dua hal, termasuk pula dalam manasik haji, seperti
Muhassir yang menjadi sekat antara Mina dan Muzdalifah, Uranah
yang menjadi sekat antara Arafah dan tanah suci, sehingga Uranah
tidak termasuk tanah suci dan juga tidak termasuk Arafah. Tidak
menyukai celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan
bukan di mata manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan
kekurangan di mata manusia ini bukan termasuk sikap yang ter-cela.
Yang tercela dalam hal ini ialah jika sikapnya itu semata di mata manusia
dan tidak merasa malu di mata Allah.
2. Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebih, yaitu sesuatu yang lebih
dari kebutuhan pokok, dengan memanfaatkan waktu semaksimal
mungkin, dengan melepaskan kegoncangan hati, dan dengan mencontoh
para nabi dan shiddiqin.
Kebutuhan-kebutuhan pokok ini meliputi makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pernikahan.
Zuhud dalam derajat ini lebih tinggi daripada derajat yang pertama.
Karena di sini seorang hamba mengisi waktunya hanya bersama Allah.
Sebab jika dia menyibukkan diri dalam perkara-perkara keduniaan yang
melebih kebutuhannya, maka dia akan merasa kehilangan waktu.
Sementara waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotong-nya,
maka waktu itulah yang akan memotongmu. Dia mengisi setiap
waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau berbuat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang bisa menolongnya untuk
mendekatkan diri kepada Allah, seperti kebutuhan makan, minum,
pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika dia memenuhi kebutuhan
ini dengan niat untuk menambah kekuatan untuk melakukan apa-apa
yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya, maka itu
namanya mengisi waktu, sekalipun dia mendapatkan kenik-matan dalam
hal-hal ini. Karena tidak diragukan bahwa jiwa akan merasa senang dan
bertambah kuat jika mendapatkan bagian yang ber-manfaat baginya di
dunia, sehingga kekuatannya menjadi bertambah. Melepaskan
kegoncangan hati artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab
keduniaan. Zuhud tidak dianggap benar kecuali dengan
memotong kegundahan hati ini, dengan tidak bergantung kepada
keduniaan, entah saat mendapatkannya atau saat meninggalkan-nya.
Zuhud adalah zuhud hati.
3. Zuhud dalam zuhud, yang dapat dilakukan dengan tiga cara: menghinakan
perbuatan zuhudnya, menyeimbangkan keadaan saat menda
patkan dan meninggalkan sesuatu, tidak berpikir untuk mendapatkan
balasan.
Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan
pengagungan-Nya, tidak melihat keduniaan yang ditinggalkannya
layak disebut pengorbanan. Sebab dunia dengan segala gemerlapnya
tak lebih seperti sayap seekor lalat di sisi Allah. Maka orang yang memiliki
ma'rifat tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya merupakan
sesuatu yang besar. Dia merasa malu jika hatinya mempersaksikan
zuhudnya ini.
Menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu
artinya melihat apa yang ditinggalkan atau yang dilakukannya
dalam kedudukan yang sama. Ini merupakan pemahaman zuhud yang
amat detail. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap
zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari seke-dar
mengambil dan meninggalkannya. Apa yang dia ambil atau ditinggalkannya
terlalu remeh di matanya.
Jika seorang hamba bisa menghinakan perkara yang dihindarinya dan
menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan
Komentar
Posting Komentar