Yaqin
Yaqin merupakan bagian dari iman, tak ubahnya kedudukan ruh
dari badan. Dengan yaqin ini orang-orang yang memiliki ma'rifat menjadi
tehormat, banyak orang yang berlomba karenanya, orang-orang yang
beramal berusaha mendapatkannya dan semua isyarat mereka tertuju
kepadanya. Jika sabar berpasangan dengan yaqin, maka akan lahir kepemimpinan
dalam agama, sebagaimana firman-Nya,
"Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan,
adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24).
Allah mengkhususkan orang-orang yang yaqin, bahwa hanya merekalah
yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat dan bukti-bukti keterangan,
sebagaimana firman-Nya,
"Dan, di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orangorang
yang yaqin." (Adz-Dzariyat: 20).
Allah juga mengkhususkan orang-orang yang yakin, bahwa hanya
merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan keberuntungan di
antara para penduduk bumi,
.
"Dan, mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah
diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu serta mereka yang yaqin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan
merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 4-5).
Allah juga mengabarkan bahwa para penghuni neraka adalah mereka
yang tidak yaqin,
"Dan, apabila dikatakan (kepada kalian), 'Sesungguhnya janji Allah itu
adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya',
niscaya kalian menjawab, 'Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu,
kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami
sekali-kali tidak meyaqini(nya)'." (Al-Jatsiyah: 32).
Yaqin merupakan ruh amal hati, yang sekaligus merupakan run amal
anggota tubuh dan merupakan hakikat sifat shidq serta inti Islam.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi, beliau bersabda,
"Janganlah sekali-kali kamu membuat seseorang ridha dengan kemurkaan
Allah, dan janganlah sekali-kali kamu memuji seseorang dengan
mengatas namakan karunia Allah, dan janganlah sekali-kali kamu
mencela seseorang selagi Allah tidak mengizinkanmu, karena sesungguhnya
rezki Allah tidak dihela kepadamu karena hasrat seseorang yang
berhasrat dan tidak ditolak darimu karena kebencian seseorang yang
benci, dan sesungguhnya Allah, dengan keadilan dan neraca-Nya Dia
menjadikan ruh dan kegembiraan ada dalam ridha dan yaqin, menjadikan
kekhawatiran dan kesedihan ada dalam keragu-raguan dan kemarahan."
Yaqin merupakan pasangan tawakal. Karena itu ada yang menafsiri
tawakal dengan kekuatan keyakinan. Yang benar, tawakal merupakan buah
yaqin. Maka ada baiknya jika petunjuk disertai dengan yaqin. Selagi yaqin
sampai ke dalam hati, maka ia akan memenuhinya dengan cahaya dan
kemuliaan, membersihkannya dari keragu-raguan dan kemarahan,
kekhawatiran dan kesedihan mengisinya dengan cinta kepada Allah, rasa
takut, ridha, syukur, tawakal dan penyandaran kepada-Nya. Jadi yaqin
merupakan materi semua kedudukan.
Ada perbedaan pendapat tentang kedudukan yaqin, apakah seba-gai
keadaan yang diusahakan ataukan merupakan pemberian?
Ada yang berpendapat, yaqin merupakan ilmu yang disusupkan ke
dalam hati. Yang berarti bukan diperoleh karena usaha. Menurut Sahl,
yaqin merupakan tambahan iman, sementara iman diperoleh dengan
usaha.
Yang benar, yaqin diperoleh karena usaha jika ditilik dari sebabsebabnya,
dan merupakan pemberian jika ditilik dari dzatnya.
Abu Bakar bin Thahir berkata, "Ilmu masih dimungkinkan untuk
diragukan. Sedangkan di dalam yaqin tidak ada keraguan sama sekali."
Menurut Dzun-Nun, yaqin mengajak untuk tidak terlalu berharap.
Tidak terlalu berharap mengajak kepada zuhud. Zuhud menghasilkan
hikmah, dan hikmah mendorong untuk memandang akibat di kemudian
hari. Masih menurut pendapatnya, ada tiga tanda yaqin: Tidak terlalu
banyak bergaul dengan manusia, tidak memuji mereka jika mendapat
pemberian, dan tidak mencela mereka jika tidak mendapat pemberian
mereka. Ada tiga tanda lainnya, yaitu: Memandang kepada Allah dalam
segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam segala sesuatu, dan memohon
pertolongan kepada-Nya dalam keadaan bagaimana pun.
Menurut Al-Junaid, yaqin merupakan kemantapan ilmu yang tidak
dapat diubah dan tidak pula diganti serta tidak berubah apa yang ada di
dalam hati. Menurut Ibnu Atha', seberapa jauh kedekatan mereka dengan
takwa, maka sejauh itu pula mereka bisa mengetahui yaqin. Dasar takwa
adalah menyalahi apa yang dilarang atau menyalahi nafsu. Sejauh mana
mereka memisahkan diri dari nafsu, maka sejauh itu pula mereka akan
mencapai yaqin.
Menurut Abu Bakar Al-Waraq, yaqin merupakan pengendali hati.
Kesempurnaan iman terjadi karenanya. Allah bisa diketahui dengan yaqin,
dan dengan akal ada pemikiran tentang Allah. Yaqin itu ada tiga
macam: Yaqin pengabaran, yaqin pembuktian dan yaqin kesaksian. Yaqin
pengabaran artinya ketenangan hatimu dan kepercayaannya terhadap
kabar yang disampaikan pemberi kabar. Yaqin pembuktian setingkat di
atas yaqin pengabaran, yaitu penerimaan pengabaran itu dengan diser-tai
dalil dan bukti keterangan. Hal ini sebagaimana umumnya pengabaran
tentang iman, tauhid dan Al-Qur'an yang dikuatkan Allah dengan
berbagai dalil, perumpamaan dan bukti-bukti keterangan yang menunjukkan
kebenaran pengabaran-Nya. Dengan begitu manusia bisa menerima
yaqin dari dua sisi, dari sisi pengabaran dan sekaligus dari sisi dalil.
Dari sini meningkat lagi ke tingkatan ketiga, yaitu yaqin pengungkapan.
Dengan yaqin ini seakan-akan hati mereka bisa merasakan kehadiran
pemberi kabar di hadapannya, sehingga pada saat itu kaitan iman kepada
yang gaib dengan hati seperti obyek pandangan dengan mata. Ini merupakan
ti ngkatan pengungkapan yang paling tinggi. Ini pula yang
diisyarat-kan dalam perkataan Amir bin Qais, "Jika tabir disingkap, maka
keyakin-an akan bertambah." Ini bukan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan tidak pula merupakan perkataan Ali seperti anggapan
sebagian orang.
Sebagian orang ada yang berkata, "Aku bisa melihat surga dan
neraka secara hakiki."
Ada yang bertanya, "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Dia menjawab, "Aku melihatnya dengan kedua mata Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Aku melihat dengan kedua mata beliau lebih
baik daripada aku melihat dengan kedua mataku sendiri, karena
pandanganku bisa salah semuanya, lain dengan pandangan beliau."
Yaqin membuatnya siap mengemban beban dan menghadapi bahaya
serta mendorongnya untuk maju terus ke depan. Jika yaqin tidak
disertai ilmu, maka ia membawanya kepada kerusakan, sedangkan ilmu
menyuruhnya untuk mundur ke belakang, dan jika ilmu tidak disertai
yaqin, maka pelakunya tidak mau bergerak dan tidak mau berusaha.
An-Nahr Jury berkata, "Jika hakikat yaqin sudah sempurna pada diri
hamba, maka cobaan bagi dirinya sama dengan nikmat dan kela-pangan
sama dengan musibah."
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Yaqin merupakan kendaraan
orang yang meniti jalan ini dan merupakan puncak derajat orang awam.
Ada yang berpendapat, yaqin merupakan langkah pertama orang yang
khusus."
Yaqin membawa pejalan kepada Allah, seperti yang dikatakan Abu
Sa'id Al-Kharaz, "Ilmu adalah yang mendorongmu untuk berbuat dan
yaqin adalah yang membawa dirimu. Yaqin adalah kendaraan yang ditunggangi
orang yang berjalan kepada Allah. Tanpa adanya yaqin, seorang
pelancong tidak akan sampai kepada Allah."
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjadikan yaqin ini sebagai akhir atau
puncak derajat orang-orang awam, karena memang inilah akhir perjalanan
mereka. Kemudian dia menceritakan perkataan seseorang, bahwa yaqin
merupakan langkah pertama orang-orang yang khusus. Dengan kata lain,
yaqin bukan merupakan tempat kedudukan mereka, tapi merupakan
permulaan perjalanan mereka. Dari yaqin inilah mereka memulai perjalanan.
Sebab orang-orang khusus ini melakukan perjalanan ke inti pemaduan
dan kefanaan dalam mempersaksikan hakikat, hasrat tidak per-nah
berhenti dan tidak terhambat oleh rupa.
Tapi boleh saja bagimu menjadikan yaqin ini sebagai puncak perjalanan
orang-orang awam dan awal perjalanan mereka. Ada tiga derajat
yaqin:
1. Ilmul-yaqin. Artinya menerima apa pun yang tampak dari Allah dan
menerima apa yang tidak tampak dari Allah serta berada pada apa yang
ditegakkan Allah.
Pengarang Manazilus Sa'irin menyebutkan tiga perkara dalam derajat
ini, yang semuanya merupakan kaitan yaqin dan rukun-rukunnya,
yaitu:
- Menerima apa pun yang tampak dari Allah, yaitu berupa perintah,
larangan, syariat, agama-Nya dan apa pun yang tampak dari-Nya,
yang disampaikan para rasul. Kita harus menerimanya dengan patuh
dan tunduk kepada Rububiyah dan masuk ke dalam ubudiyah.
- Menerima apa yang tidak tampak dari Allah, yaitu iman kepada yang
gaib, yang dikabarkan Allah lewat lisan para rasul-Nya, tentang perka-raperkara
akhirat, surga, neraka, shirath, timbangan, hisab, tentang langit
yang terbelah, planet-planet yang berhamburan, gunung-gunung yang
dicabut dari tempatnya dan alam dibalik, tentang alam barzakh,
nikmat dan siksanya. Sebelum semua ini harus ada iman dan
pembenaran, yaitu yaqin. Artinya, di dalam hati tidak boleh ada
keraguan, kesangsian dan kelalaian. - Berada pada apa yang
ditegakkan Allah, yaitu ilmu tauhid, yang asas-nya adalah
penetapkan asma' dan sifat. Kebalikannya adalah penia-daan dan
penafian. Tauhid ini merupakan kebalikan dari peniadaan. Tauhid
yang berorientasi tujuan dan kehendak ialah memurnikan amal
karena Allah dan menyembah-Nya semata. Kebalikannya adalah
syirik. Sedangkan peniadaan tauhid lebih buruk daripada syirik.
Sebab pelakunya mengingkari Dzat dan juga kesempurnaan-Nya,
atau juga bisa disebut pengingkaran terhadap hakikat Uluhiyah. Dari
segi dzat, dia menganggap Allah tidak bisa mendengar, melihat,
berbicara, tidak meridhai, tidak murka, tidak bisa berbuat apa pun,
tidak berada di dalam dan di luar alam, tidak berhubungan dan tidak
berpisah dengan alam, tidak berada di atas 'Arsy dan tidak pula di
bawahnya. Ada atau tidak ada-Nya dianggap sama. Sementara orang
musyrik tetap mengakui keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi
dia menyembah selain-Nya di samping juga menyembah-Nya. Berarti
orang musyrik lebih baik daripada orang yang meniadakan Dzat
dan sifat Allah.8
Tiga perkara ini merupakan ilmu manusia yang paling mulia, yaitu
ilmu tentang perintah dan larangan, ilmu tentang asma' dan sifat ser-ta
tauhid, ilmu tentang hari akhirat.
2. Ainul-yaqin. Artinya yang membutuhkan kesaksian dari suatu kesaksian,
yang membutuhkan pandangan dengan mata telanjang dari suatu
pengabaran dan kesaksian yang menyibak tabir ilmu. Perbedaan
antara ilmul-yaqin dan ainul-yaqin seperti perbedaan anta-ra
pengabaran yang benar dan pandangan secara langsung. Sedangkan
haqqul-yaqin di atas keduanya. Tiga tingkatan ini dapat diumpamakan
dengan ucapan seseorang yang berkata kepadamu, bahwa dia
mempunyai madu. Engkau tidak menyangsikan kebenaran pengabarannya
itu. Ketika dia memperlihatkan madu itu kepadamu, maka
yaqinmu semakin bertambah, kemudian engkau mencicipinya. Yang
pertama disebut ilmul-yaqin, yang kedua disebut ainul-yaqin, dan
yang ketiga disebut haqqul-yaqin. Pengetahuan kita tentang surga dan
neraka disebut ilmul-yaqin. Jika surga diperlihatkan kepada orangorang
yang bertakwa dan neraka diperlihatkan kepada orang-orang
yang durhaka, sementara semua makhluk juga menyaksikannya, maka
itulah yang disebut ainul-yaqin. Jika penghuni surga sudah berada di
surga dan penghuni neraka berada di dalam neraka, maka saat itulah
disebut haqqul-yaqin.
Orang yang berada dalam derajat ini mencari dalil untuk mendapatkan
pengetahuan tentang suatu obyek yang dikuatkan dengan dalil itu,
seperti penguatan pengabaran dengan pandangan secara langsung.
Kesaksian atau pengetahuannya dapat menyingkap tabir ilmu, lalu
membawanya kepada obyek yang harus diketahui, sehingga pandangan
dan hatinya menjadi terkuak.
3. Haqqul-yaqin. Artinya mengobarkan cahaya penyingkapan, membebaskan
diri dari beban yaqin dan melebur dalam haqqul-yaqin. Derajat
ini tidak bisa diperoleh di dunia kecuali oleh para rasul. Nabi kita
melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri selagi be-liau
masih hidup di dunia. Musa mendengar kalam Allah tanpa peran-tara.
Allah menampakkan Diri-Nya kepada gunung dan Musa melihat
kejadian ini, hingga gunung itu hancur berkeping-keping. Memang
pada tingkatan tertentu kita bisa mendapatkan haqqul-yaqin, yaitu
dengan merasakan hakikat iman yang dikabarkan Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, yang berkaitan dengan hati dan amal-amalnya. Jika
hati dapat merasakannya, maka ia berhak untuk berada pada haqqulyakin.
Tetapi untuk perkara-perkara akhirat dan hari kia-mat, melihat
8 Yang benar, tidak ada yang baik pada dua golongan ini. Lebih tepat jika dikatakan,
orang pertama lebih sedikit kerusakan dan keburukannya daripada orang kedua.
Allah dengan mata kepala sendiri serta mendengar kalam Allah secara
langsung tanpa perantara, maka yang seharusnya dilaku-kan orang
Mukmin di dunia ini hanya sebatas iman dan ilmul-yaqin. Sedangkan
haqqul-yaqin ditangguhkan hingga tiba saatnya nanti. Tapi jika orang
yang mengadakan perjalanan dapat mewujudkan kesaksian hakikat,
berakhir kepada kefanaan dan sampai kepada keber-samaan, maka
inilah yang disebut mengobarkan cahaya penyingkapan. Artinya
mewujudkan cahaya yaqin yang dapat mengalahkan kegelap-an tabir.
Membebaskan diri dari beban yaqin artinya bahwa yaqin mempunyai
hak-hak yang harus dipenuhi pemiliknya, beban dan kesulitannya
diemban. Jika dia melebur dalam tauhid, maka dia akan mendapatkan
perkara-perkara lain yang tinggi, sehingga akhirnya dia seperti orang
yang dibawa setelah dia membawa, seperti terbang setelah berjalan
kaki, sehingga hak-hak yang harus dipenuhi dan diembannya itu tidak lagi
terasa. Yang menyisa pada dirinya hanya hembusan napas, seperti air
yang dimiliki ikan. Ini semua kembali kepada dominasi rasa, yang tidak
perlu buru-buru diingkari.
Perhatikanlah keadaan seorang shahabat (Amr bin Al-Hammam) sewak-tu
perang Uhud, yang mengambil beberapa buah korma yang dibawa-nya
sebagai bekal. Karena dia haus dan lapar, maka dia duduk sambil
memakan kormanya itu. Tapi karena dia melihat pasar mati syahid
yang ramai, dia segera bangkit dari duduknya lalu melempar kormanya,
seraya berkata, "Ini merupakan kehidupan yang terlalu lama, selagi aku
masih hidup dan masih memakan korma-korma ini." Seketi-ka itu pula
dia bertempur hingga terbunuh sebagai syahid. Begitu pula keadaan para
shahabat lainnya, yang tidak jauh berbeda dengan keadaan ini.
Komentar
Posting Komentar