Ikhlas
Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah
befirman di dalam Al-Qur'an,
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) aga-ma
dengan lurus." (Al-Bayyinah: 5).
"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kcpunyaan Allahlah aga-ma
yang bersih (dari syirik)." (Az-Zumar: 2-3).
.
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di
antara kalian yang lebih baik amalnya." (Al-Mulk: 2).
Al-Fudhail berkata, "Maksud yang lebih baik amalnya di dalam ayat
ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar."
Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling
ikhlas dan paling benar itu?"
Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak
benar, maka ia tidak akan diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas,
maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas
ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan
menurut As-Sunnah." Kemudian dia membaca ayat,
.
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yangshalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya."
(Al-Kahfi:110).
Allah juga telah befirman,
.
"Dan, siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan
kebaikan?" (An-Nisa': 125).
Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan
amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.
Allah juga befirman,
"Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqan: 23).
Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan
bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Sa'd bin Abi
Waqqash,
"Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga
engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah,
melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajat dan
ketinggian karenanya."
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu
Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
..
"Tiga perkara, yang hati orang Mukmin tidak akan berkhianat jika ada
padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada
para waliyul-amri dan mengikuti jama'ah orang-orang Muslim,
karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang
berperang karena riya', berperang karena keberanian dan berperang karena
kesatriaan, manakah di antaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau
menjawab, "Orang yang berperang agar kalimat Allahlah yang paling
tinggi, maka dia berada di jalan Allah."
Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama
diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari' Al-Qur'an, muja-hid
dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar
dikatakan, "Fulan adalah qari', Fulan adalah pemberani, Fulan ada-lah
orang yang bershadaqah", yang amal-amal mereka tidak ikhlas kare-na
Allah.
Di dalam hadits qudsy yang shahih disebutkan,
"Allah befirman, 'Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan
dari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu
amal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menja-di
milik yang dia sekutukannya dan Aku terbebas darinya'."
Di dalam hadits lain disebutkan,
"'Allah befirman pada hari kiamat, Pergilah lalu ambillah pahalamu
dari orang yang amalmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala
di sisi Kami'."
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, beliau bersabda,
"Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa
kalian, tetapi Dia melihat hati kalian."
Banyak definisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun
tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendi-rikan
Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya
membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk. Ada yang berpendapat,
ikhlas artinya menjaga amal dari perhatian manusia, termasuk pula diri
sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja.
Orang yang ikhlas tidak riya' dan orang yang shadiq tidak ujub. Ikhlas tidak
bisa sempurna kecuali dengan shidq, dan shidq tidak bisa sempurna
kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan
sabar.
Ada pula yang berpendapat, siapa yang mempersaksikan adanya
ikhlas dalam ikhlas, berarti ikhlasnya membutuhkan ikhlas lagi.
Kekurangan orang yang mukhlis dalam ikhlasnya, tergantung dari
pandang-an terhadap ikhlasnya. Jika dia tidak lagi melihat ikhlasnya, maka
dialah orang yang benar-benar mukhlis. Ada pula yang berpendapat, ikhlas
arti-nya menyelaraskan amal-amal hamba secara zhahir dan batin. Riya'
ialah jika zhahirnya lebih baik daripada batinnya. Shidq dalam ikhlas ialah
jika batinnya lebih semarak daripada zhahirnya.
Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena menusia adalah
riya'. Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas
ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan
keduanya."
Al-Junaid berkata, "Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan
hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat, sehingga dia menulisnya,
tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui
hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya."
Yusuf bin Al-Husain berkata, "Sesuatu yang paling mulia di dunia
adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya' dari hatiku, tapi
seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain."
Pengarang Manozi/us-Sa'irm berkata, "Ikhlas artinya membersihkan
amal dari segala campuran." Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri
sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah
karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang,
mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan san-jungan,
karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain
yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan
sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun.
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ikhlas ini ada tiga derajat:
1. Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal dan
tidak puas terhadap amal.
Ada tiga macam penghalang dan perintang bagi orang yang beramal
dalam amalnya: Pertama, pandangan dan perhatiannya. Kedua, keinginan
akan imbalan dari amal itu. Ketiga, puas dan senang kepadan-ya.
Yang bisa membersihkan hamba dari pandangan terhadap amalnya ialah
mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu
datang dari Allah dan bukan dari dirinya, kehendak Allahlah yang
membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya, sebagai-mana
firman-nya,
..
"Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki
Allah, Rabb semesta alam." (At-Takkwir: 29).
Di sini ada yang sangat bermanfaat baginya, yaitu kekuasaan Allah,
bahwa dirinya hanyalah alat semata, perbuatannya hanyalah seperti
gerakan pohon yang terkena hembusan angin, yang menggerakkannya
selain dirinya, dia ibarat mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa, yang
andaikan segala sesuatu diserahkan kepadanya, maka tidak ada perbuatannya
yang bermaslahat sama sekali, karena jiwanya bodoh dan
zhalim, tabiatnya malas, yang dipentingkannya adalah syahwat.
Kebaikan yang keluar dari jiwa itu hanya berasal dari Allah dan bukan
yang berasal dari hamba, sebagaimana firman-Nya,
Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kalian bersih (dari perbuatanperbuatan
keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan
siapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nur: 21).
Semua kebaikan yang ada pada diri hamba semata karena karunia Allah,
pemberian, kebaikan dan nikmat-Nya. Pandangan hamba terhadap
amainya yang hakiki ialah pandangannya terhadap sifat-sifat Allah
yang berkaitan dengan penciptaan, yang semua semata karena pemberian
Allah, karunia dan rahmat-Nya. Jadi, yang bisa membersihkan
hamba dari perintang ini adalah mengetahui Rabb-nya dan juga mengetahui
dirinya sendiri.
Sedangkan yang bisa membersihkan hamba dari tujuan mencari imbalan
atas amainya ialah menyadari bahwa dia hanyalah hamba semata.
Seorang hamba (budak) tidak layak menuntut imbalan dan upah dari
pengabdiannya terhadap tuannya. Sebab imbalan hanya layak diminta
orang yang merdeka atau budak orang lain. Sedangkan yang
membersihkan hamba dari kepuasan terhadap amainya ada dua macam:
- Memperhatikan aib, cela dan kekurangannya dalam amal, yang di
dalamnya banyak terdapat bagian-bagian syetan dan nafsu. Jarang
sekali ada amal melainkan syetan mempunyai bagian dalam amal
itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang seseorang
yang menengok saat mendirikan shalat. Maka beliau menjawab,
"Itu adalah rampasan yang diambil syetan dari shalat ham
ba."
Jika ini berlaku untuk sekali tengokan yang hanya sesaat saja, lalu
bagaimana dengan hati yang menengok kepada selain Allah? Tentu
saja bagian syetan lebih banyak lagi. Ibnu Mas'ud berkata, "Seseorang
di antara kalian tidak memberikan bagian kepada syetan dari
shalatnya, sehingga syetan itu melihat ada hak atas shalat tersebut,
melainkan karena dia menengok ke arah kanannya."
- Mengetahui hak Allah atas dirinya, yaitu hak ubudiyah beserta adabadab
zhahir dan batin serta memenuhi syarat-syaratnya, menyadari
bahwa hamba itu terlalu lemah untuk dapat memenuhi hak-hak itu.
Orang yang memiliki ma'rifat ialah yang tidak ridha sedikit pun ter
hadap amainya dan merasa malu jika Allah menerima amainya.
2. Malu terhadap amal sambil tetap berusaha, berusaha sekuat tenaga
membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian, memelihara caha-ya
taufik yang dipancarkan Allah.
Hamba yang merasa malu kepada Allah karena amainya, karena dia
merasa amal itu belum layak dilakukan karena Allah, tapi amal itu
tetap diupayakan. Allah befirman,
...
"Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan,
dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Rabb mereka." (Al-Mukminin: 60).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda menjelaskan maksud ayat
ini,
"Dia adalah orang yang berpuasa, mendirikan shalat, mengeluarkan
shadaqah, dan dia takut amal-amalnya ini tidak diterima."
Sebagian ulama berkata, "Aku benar-benar mendirikan shalat dua rakaat,
namun ketika mendirikannya aku tak ubahnya seorang pencuri
atau pezina yang tidak dilihat orang, karena merasa malu kepada
Allah."
Orang Mukmin adalah orang yang memadukan kebajikan disertai ketakutan
dan buruk sangka terhadap dirinya, sedangkan orang yang
tertipu dan munafik adalah orang yang berbaik sangka terhadap dirinya
dan juga berbuat jahat.
Maksud memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah, bahwa dengan
cahaya itu engkau bisa tahu bahwa amalmu semata karena karu-nia Allah
dan bukan karena dirimu sendiri.
Derajat ini mencakup lima perkara: Amal, berusaha dalam amal, rasa
malu kepada Allah, memelihara kesaksian, melihat amal sebagai pemberian
dan karunia Allah.
3. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, membiarkan
amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah
dan membebaskannya dari sentuhan rupa.
Perkataan, "Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal",
ditafsiri dengan lanjutannya, yaitu membiarkan amal itu berlalu berdasarkan
ilmu dan engkau tunduk kepada hukum kehendak Allah.
Artinya, engkau menjadikan amalmu mengikuti ilmu, menyesuaikan diri
dengannya, berhenti menurut pemberhentiannya, bergerak menu-rut
gerakannya, melihat hukum agama dan membatasi dengan batasanbatasannya,
memperhatikan pahala dan siksa di kemudian hari.
Meskipun begitu engkau juga harus berlalu dengan memperhatikan
hatimu, mempersaksikan hukum alam, yang di dalamnya terkandung
hukum sebab akibat, yang tak sedikit pun lepas dari kehendak Allah.
Sehingga seorang hamba bertindak berdasarkan dua perkara: Perta-ma,
perintah dan larangan, yang berkaitan dengan apa yang harus diker
jakannya dan apa yang harus ditinggalkannya. Kedua, qadha' dan qadar,
yang berkaitan dengan iman, kesaksian dan hakikat. Dengan begitu dia
bisa melihat hakikat dan bertindak berdasarkan syariat. Dua perkara
inilah ubudiyah seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
" (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus.
Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila
dikehendaki Allah, Rabb semesta alam." (At-Takkwir: 28-29).
Membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu merupakan kesaksian dari
firman Allah, "Bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan
yang lurus", sedangkan pelakunya yang tunduk kepada hukum kehendak
Allah merupakan kesaksian terhadap firman-Nya, "Kamu
sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah".
Tentang perkataan, "Membebaskan amal dari sentuhan rupa", artinya
membebaskan amal dan ubudiyah dari selain Allah. Karena apa pun
selain Allah hanyalah rupa yang hanya tampak di luarnya saja.
Komentar
Posting Komentar