Waktu



waktu adalah wadah pembentukan. Waktu merupakan
istilah dalam kajian ini, yang memiliki tiga makna dan dilandaskan
kepada tiga derajat. Makna yang pertama adalah saat mampu dan benar,
karena melihat cahaya karunia yang ditarik kebersihan harapan, atau
karena ada perlindungan yang ditarik kebenaran ketakutan, atau karena
kobaran rindu yang ditarik cinta.
Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah telah menetapkan
waktu kedatangan Musa pada saat yang sangat dia butuhkan. Menurut
Mujahid, artinya pada waktu yang telah dijanjikan. Tapi pendapat ini
perlu dipertimbangkan lagi. Sebab antara Allah dan Musa tidak pernah
ada ikatan janji sebelumnya. Pelandasannya kepada ayat ini menunjukkan
ilmu Allah. Jika sesuatu berada tepat pada waktunya yang paling tepat,
maka itulah yang paling baik dan yang paling bermanfaat, seperti halnya
hujan yang sangat dibutuhkan pada suatu waktu, yang menjadi jalan
keluar pada saatnya yang paling tepat. Siapa yang memperhatikan
ketetapan-ketetapan Allah yang ter jadi pada makhluk, maka akan mengetahui
bahwa semua itu terjadi pada waktu yang paling tepat. Allah mengu-tus
Musa pada saat manusia sangat membutuhkan utusan-Nya. Begitu pula
saat Isa diutus, saat Muhammad diutus, pada waktu yang paling tepat bagi
manusia.
Waktu menurut Syaikh merupakan ungkapan tentang kedekatan
satu peristiwa dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua
peristiwa. Waktu merupakan wadah temporal yang di dalamnya ada
kejadian. Tapi waktu menurut mereka mempunyai pengertian yang lebih
khusus dari makna ini.
Menurut Abu Ali Ad-Daqqaq, waktu adalah sesuatu yang engkau ada
di dalamnya. Jika engkau di dunia, maka waktumu adalah dunia. Jika
engkau berada di akhirat, maka waktumu adalah akhirat. Jika engkau
berada dalam kegembiraan, maka waktumu adalah kegembiraan. Jika
engkau berada dalam kesedihan, maka waktumu adalah kesedihan itu.
Artinya, waktu adalah keadaan yang lebih menguasai manusia. Atau bisa
juga diartikan, bahwa waktu adalah apa yang ada di antara dua masa,
lampau dan mendatang. Ini merupakan istilah yang lebih sering mereka
gunakan, Maka mereka berkata, "Orang sufi dan orang fakir adalah anak
waktunya." Artinya, hasrat yang dimiliki seorang hamba tidak melebihi
tugasnya untuk mengisi hidupnya. Inilah yang paling penting dan paling
bermanfaat baginya. Dia dituntut melakukan apa yang ada pada saat itu
pula, tidak perlu memperhatikan yang sudah lampau dan mendatang. Dia
cukup memperhatikan waktu yang ada. Karena memperhatikan waktu dan
yang lampau mendatang hanya akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Jika
datang suatu waktu, maka dia harus meninggalkan dua sisi waktu itu, agar
semua waktunya dapat ditinggalkan.14
Asy-Syafi'y berkata, "Aku pernah menyertai orang-orang sufi. Tidak
ada manfaat yang bisa saya petik dari mereka kecuali dua kalimat yang
pernah kudengar dari mereka. Mereka berkata, 'Waktu adalah pedang. Jika
engkau tidak memotongnya, maka waktu itulah yang akan memo-tongmu.
Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dengan kebenaran, maka dirimulah
yang akan menyibukkanmu dengan kebatilan'. Saya katakan, "Ini adalah
dua kalimat yang sangat mendalam maknanya dan besar manfaatnya,
yang menunjukkan kebesaran hasrat orang yang mengata-kannya."
Yang mereka maksudkan dengan waktu, lebih khusus dari semua
pengertian ini. Waktu menurut mereka adalah sesuatu yang secara
kebetulan mendatangkan kebenaran bagi mereka, bukan karena apa yang
mereka pilih untuk diri mereka sendiri. Jika ada yang berkata, "Fulan
menurut hukum waktu". Artinya, dia menerima apa yang datang dari sisi
Allah tanpa memilih dan menentukannya.
Yang demikian ini baik dalam satu keadaan tapi juga diharamkan
dalam keadaan lain dan pelakunya kurang dalam keadaan yang lain lagi.
Dia baik di setiap keadaan yang di dalamnya tidak ada perintah dan larang-an
Allah, seperti keadaan berlakunya hukum alam yang tidak berkaitan
dengan perintah dan larangan, seperti keadaan sakit, miskin, asing, lapar,
menderita, panas, dingin dan lain sebagainya. Diharamkan dalam keadaan
yang di dalamnya ada perintah, larangan dan keharusan memenuhi hak-hak
syariat. Karena menyia-nyiakan, kepasrahan dan ketidakpedulian,
sementara ada kesanggupan, sama dengan meninggalkan agama secara
total dan orangnya dianggap tidak sempurna, pada saat dia sanggup melaksanakan
nafilah, kebajikan dan berbagai macam ketaatan. Jika Allah
14 Orang Mukmin yang berakal, yang memperhatikan sunnatullah pada di dirinya dan di alam ini,
tidak mungkin bisa melupakan begitu saja waktunya yang telah lampau dengan segala apa yang
telah dilakukannya. Sebab hal itu berpengaruh sangat besar terhadap waktu yang ada, buruk
maupun baik. Karena kebaikan akan melahirkan kebaikan yang lain, dan keburukan akan
melahirkan keburukan yang lain. Orang Mukmin harus memperhatikan waktu mendatang dan
kesudahan waktunya, agar dia bisa bersiap-siap dan membekali diri dengan segenap kekuatannya,
agar dia menjadi orang shalih dan diridhai. Tidak ada orang yang perhatiannya hanya tertuju
kepada waktu yang ada melainkan dia adalah orang yang lalai dan suka membuat persangkaanpersangkaan
yang buruk terhadap Allah serta berbuat aniaya terhadap diri sendiri.
menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka Dia menolong-nya
dengan waktu, sehingga waktunya merupakan penolong bagi dirinya. Jika
Allah menghendaki suatu keburukan pada diri hamba, maka Dia
menjadikan waktunya menguasai dirinya dan waktunya menjadi penghalang
baginya. Jika dia bersiap-siap untuk mengadakan perjalanan, maka
waktunya tidak memberikan pertolongan kepadanya. Berbeda dengan
orang pertama. Selagi dia hendak duduk, maka waktunya mendorongnya
untuk bangkit dan memberikan pertolongan kepadanya.
Dalam kaitannya dengan waktu, mereka membagi orang sufi menjadi
empat golongan:
- Orang-orang yang bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada
dalam ketetapan Allah, karena mereka menyadari bahwa hukum aza-ly
tidak bisa dirubah oleh usaha hamba. Sekalipun begitu mereka tetap rajin
melaksanakan perintah, menjauhi larangan, bertaqarrub kepa-da Allah
dengan berbagai macam ketaatan, sekalipun mereka tidak begitu yakin
akan semua itu.
- Orang-orang yang bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya
tertuju kepada kesudahan urusan mereka, karena segala urusan dan
amal diukur dari kesudahannya. Padahal apa yang terjadi nanti tidak
bisa diketahui. Berapa banyak musim semi yang membuat pepohonan
berbinar, bunga-bunganya merekah, buah-buahnya ranum, tapi be-gitu
cepat pepohonan itu ditimpa bencana dari langit tanpa diduga-duga,
sehingga keadaannya seperti yang difirmankan Allah,
"Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai
(pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka
pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya)
laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum
pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda
kekuasaan (Kami) kepada orang-orangyang berpikir." (Yunus: 24).
- Orang-orang yang bersama waktu yang ada. Mereka tidak rnenyibuk-kan
diri dengan waktu yang lampau dan tidak pula dengan waktu yang akan
datang. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada dan
hukum-hukumnya. Mereka berkata, "Orang yang arif ialah yang
menjadi anak waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu
mendatang."
- Orang-orang yang bersama pemilik waktu dan saat, penguasa dan yang
menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli terhadap waktu itu
sendiri.
Seperti yang sudah disinggung di atas, waktu menurut pengarang
Manazilus-Sa'irin merupakan istilah untuk tiga makna:
Makna Pertama: Saat yang sesungguhnya dan nyata, yaitu saat dari
suatu kemampuan untuk berdiri dengan hatinya, tidak merasa terbebani
dan tidak dipaksa untuk memperolehnya. Gantungannya adalah melihat
cahaya karunia. Melihat di sini bukan sekedar melihat dengan mata
semata, tapi disertai hati dan membuatnya tenang, bukan seperti orang
yang melihat musuh dan merasa takut kepadanya.
Maksudnya, ini merupakan waktu yang orangnya benar-benar nyata
ada di dalamnya, karena dia melihat karunia Allah. Karunia di sini adalah
pemberian yang sebenarnya orang yang diberi tidak mempunyai hak atas
pemberian itu, atau diberi melebihi kadar yang menjadi haknya. Jika dia
melihat karunia ini dan menyimak dengan hatinya, maka akan menghasilkan
kemampuan lain yang mendorongnya untuk mencintai Pemberi
karunia dan rindu untuk bersua dengan-Nya.
Makna Kedua: Merupakan istilah bagi jalan yang dilalui orang yang
sedang berjalan di antara kekuatan dan keragaman, tetap dalam keadaannya
dan menoleh kepada ilmu. Terkadang ilmu menyibukkannya dan
terkadang keadaan membawa dirinya. Bencananya ada di antara
keduanya.
Kekuatan di sini artinya kepatuhan kepada hukum-hukum ubudi-yah
berdasarkan kesaksian dan keadaan, sedangkan keragaman mempunyai
makna yang lebih khusus lagi, yaitu ketundukan kepada hukum ubudiyah
berdasarkan ilmu.
Perkataan Syaikh, "Tetap dalam keadaannya dan menoleh kepada
ilmu", artinya hamba berjalan kepada kekuatan selagi dia melewati keadaan
dan menoleh ke ilmu, bukan melewati ilmu dan menoleh ke keadaan.
Ada dua macam orang yang mengadakan perjalanan: Pertama, orang
yang berjalan di atas keadaan dan menengok ke ilmu. Mereka lebih dekat
kepada pengukuhan. Kedua, orang yang berjalan di atas ilmu dan
menengok ke ilmu. Mereka lebih dekat kepada keragaman. Yang satu
lemah dalam ilmu dan satunya lagi lemah dalam keadaan. Yang satu
tunduk kepada keadaan dan satunya lagi tunduk kepada keadaan. Jika orang
yang tunduk kepada keadaan menentang ilmu, maka dia akan terhalang.
Sedangkan orang yang tunduk kepada ilmu namun berpaling dari
keadaan, maka dia adalah orang kurang dan sia-sia, hanya sibuk dengan
sarana dan melu-pakan tujuan. Orang yang memiliki kekuatan ialah yang
mengalihkan ilmunya ke keadaannya, menjadikannya sebagai penentu
hukum dan mengalihkan keadaannya ke ilmunya.
Perkataan Syaikh, "Terkadang ilmu menyibukkannya dan terkadang
keadaan membawa dirinya", terkadang ilmu menyibukkan dirinya
hingga membuatnya lalai menguatkan keadaan. Tapi terkadang dia terlalu
dikuasai oleh keadaan, sehingga keadaan itu seakan membawa dirinya
sesuai dengan kekuasaannya.
Makna Ketiga: Waktu yang sebenarnya. Yang mereka maksudkan
adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud Allah. Makna ini menunjukkan
bahwa Allah lebih dahulu ada daripada waktu. Inilah kandungan
makna yang ketiga ini, yang berbagai rupa melebur di dalamnya karena
pengungkapan, bukan karena wujud semata.
Ini merupakan makna waktu dalam pengertian yang lebih khusus
daripada makna di atas, bahwa orang yang mengadakan perjalanan
dengan membawa makna ini, maka jika dia tenggelam dalam waktunya,
maka semua waktunya tidak akan terasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dzikir

AYAT DAN SURAH YANG DIUTAMAKAN MEMBACANYA PADA WAKTU-WAKTU TERTENTU

Terjemah KITAB AKHLAQ BAGI PEREMPUAN